BALADA BAGONG

(Monolog Budaya)


 

bagong wyorg

Suatu pagi, Bagong tiba-tiba saja menjadi seorang perenung. Dia memikirkan soal nasibnya yang tidak jelas-jelas juga. Tetapi sebenarnya, jika mau jujur, dia ini ngiri sama Kangmas-nya, Petruk. Mengapa bisa begitu? Ada sebabnya memang, dia ngiri sama Petruk karena dia merasa bahwa apa yang dilakukan kakang-nya itu sebagai sebuah keberanian luar biasa. Bagaimana tidak luar biasa, wong Petruk itu telah dinyatakan sukses dalam membuat onar jagat politik melalui ulahnya yang sempat mendeklarasikan diri menjadi ratu, alias raja, alias kalau istilah zaman sekarang adalah Presiden. 

Alasan kedua, mengapa Bagong ngiri adalah karena Bagong sama-sama tahu, kalau si Petruk itu cuma rakyat biasa, rakyat kecil. Petruk hanya bagian dari grup dagelan Punakawan yang berada di bawah Semar sebagai general manager-nya. Kehidupan mereka hanya menggantungkan pada order-an dari para ksatria Pandawa. Kalau pas nggak ada tanggapan, kadang kala mereka nyambi jadi badut di acara-acara ulang tahun anak-anak para ksatria itu. Jadi, bisa dibayangkan, bagaimana kehidupan mereka sesungguhnya. “Tetapi, kok bisa si Petruk berani nekat macam itu?” pikir Bagong.

Bahkan, di luar nalar, Petruk di mata Bagong dipandang begitu piawai, lincah, dan benar-benar nekat untuk bisa melenggang di atas karpet merah kekuasaan. Meskipun naiknya Petruk di atas singgasana itu diwarnai dengan berbagai macam informasi yang kontroversi. Petruk sekonyong-konyong menjadi fenomenal. Dibicarakan di televisi, radio, koran, tabloid, bahkan sempat nampang sebagai cover boy di majalah-majalah. Sempat pula para motivator handal di negeri Ngastina berebut menulis buku yang membahas kiat-kiat sukses ala Petruk. Buku-buku mereka malah laris manis, menjadi best seller se-antero Ngastina dan beberapa negara lain di beberapa benua juga. Petruk benar-benar menjadi seorang selebritis. Sampai-sampai di beberapa provinsi di Ngastina dan juga di Lojitengara (nama kerajaan yang dikuasai Petruk) kerap diadakan lomba mirip Petruk, lomba pidato ala Petruk, lomba baca puisi dengan gaya Petruk, lomba menulis surat untuk raja Petruk, lomba bikin gapura dengan gambar atau patung Petruk, sampai lomba makan kerupuk dengan memakai topeng yang mirip dengan wajah Petruk. Semua serba Petruk! Truk!

Begitulah Petruk, dengan segala kejayaannya. Semua orang begitu menggilainya. Mengelu-elukan, hingga setiap kunjungannya di daerah-daerah bisa bikin suasana histeris. Semua meneriakkan namanya yang diagungkan. “Petruk raja rakyat!”, “Petruk rajanya kawula!”, “Petruk raja titisan dewa!”. Tidak hanya teriakan-teriakan tetapi juga kerap pula orang-orang memintanya untuk mampir ke rumahnya. Duduk di kursi tamu rumah mereka meskipun sebentar. Ada juga para tokoh-tokoh masyarakat di kampung, macam Pak RT, Pak RW, Kepala Dusun, Kepala Desa bahkan tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang menyediakan kamar untuk tempat menginap Petruk sang raja itu barang semalam. Dan memang, dalam setiap kunjungannya di daerah-daerah, Petruk tak mau meniduri kasur di hotel. Dia memilih tidur di sembarang tempat. Asal sudah ngantuk, biarpun di emper toko sekalipun dia tidak canggung-canggung tidur di situ.

Tetapi, kebiasaan menginap di sembarang tempat ini agaknya menjadi masalah bagi para menteri, pejabat-pejabat tinggi, dan pengawalnya. Mereka tak terbiasa dengan cara yang demikian. Sejak mula mereka terbiasa nyaman dan dinyamankan oleh adat tata krama yang jika dinominalkan berbiaya tinggi. Para menteri dan pejabat tinggi biasa menginap di hotel kelas bintang lima. Dijamu dengan makanan-makanan impor yang katanya lebih bergizi, buah segar, dan minuman-minuman dalam kemasan yang katanya lebih higienis. Para pengawal juga demikian. Semua serba mewah. Fasilitas angkutannya pun dibikin mewah dan nyaman. Keretanya tidak lagi beroda, tetapi minimal pakai baling-baling. Sarana komunikasinya pakai Blackberry atau minimal menggunakan handphone yang ada fasilitas internetnya.

Hal-hal semacam itu, tiba-tiba direvolusi besar-besaran oleh kepemimpinan Petruk. Tidak ada lagi ongkos hotel, sebab ongkos hotel bisa buat kasih modal orang miskin. Tidak ada lagi makanan impor karena akan mengganggu stabilitas ekonomi nasional. Oleh karenanya, setiap kunjungan Petruk selalu menganjurkan agar warga daerah sekitar tempat kunjungannya menyiapkan warung-warung tenda. Agar semua yang ikut dalam rombongan lawatannya njajan di warung-warung warga. Sarana angkutannya pun pakai angkutan umum agar para sopir angkutan umum, dari becak, delman, ojek sepeda, ojek motor, sampai angkutan desa bisa ikut merasakan keuntungan ketika Petruk berkunjung. Sedangkan sarana komunikasi diharuskan dengan model tatap muka dan berbicara langsung untuk memperkuat rasa paseduluran. Karena menurut Petruk, kerja profesional itu dimulai dari rasa menjadi sedulur, menjadi saudara. Bukan sekadar mitra. Kalaupun harus berkomunikasi jarak jauh, Petruk menganjurkan untuk mengirim surat karena dengan menulis surat seseorang akan terbiasa menjadi orang yang bisa menjaga sikap mental bahasa. “SMS?” tanya salah seorang prajurit pada suatu ketika. “No SMS, MMS, atau BBM!” jawab Petruk.

Betapa sistem pemerintahan yang sangat ketinggalan zaman, kalau orang-orang model kita sekarang bilang. Tetapi, di balik yang ketinggalan zaman itu, sebenarnya misi apa yang tengah diemban oleh Petruk? Tidak lain dan tidak bukan, berdasarkan alasan yang dijelaskan Petruk, semua itu ditujukan untuk sebuah kebaikan bersama. Kata Petruk, “Biasanya, dalam keadaan kepepet dan serba terbatas, orang akan bisa lebih kreatif dalam menciptakan sesuatu. Jadi, semua itu saya lakukan agar masyarakat Lojitengara menjadi masyarakat yang kreatif dan produktif. Jika rakyat kreatif dan bisa memroduksi berbagai macam teknologi untuk berbagai keperluan, maka tugas negara adalah mematenkan hasil produksi mereka dan ikut memasarkan kepada khalayak. Negara, di bawah kepemimpinan saya, bertugas melindungi hak paten dan perdagangan produk-produk rakyat, sehingga memiliki harga yang murah bagi rakyat dan harga jual yang cukup menjanjikan ketika diekspor. Jadi, ini adalah semacam sistem subsidi silang. Orang luar beli mahal, orang kita sendiri beli murah.”

Lalu, ketika ditanya soal mata uang, Petruk juga menjawab, “Untuk menstabilkan kondisi keuangan negara, saya terapkan sistem koin emas. Nilai ekonomi koin itu ditentukan oleh kadar karat emas dan berat timbangannya. Misalnya, untuk koin seberat lima gram dengan kadar 24 karat, maka koin itu senilai dengan 10 dolar Amerika. Begitu pun dengan kelipatannya.”

“Tapi, bukankah tambang emas kita menipis, Pak?” tanya seorang wartawan yang ikut dalam rombongan kunjungan raja Petruk.

“Eh, kamu panggil apa? Pak? Apa saya cukup pantas dipanggil Pak? Kang saja, itu sudah cukup,” seloroh Petruk yang bergelar sebagai Prabu Wel-geduwel Beh.

Si wartawan itupun hanya mengangguk.

“Eh, apa pertanyaannya tadi?”

“Soal tambang emas, Pak… eh maaf, Kang Prabu.”

“Sebenarnya tidak menipis, hanya saja, selama kepemimpinan era sebelum saya, ada kongkalikong antara pejabat negara dengan konglomerat untuk melakukan eksploitasi besar-besaran. Yang itu semua dilakukan dengan cara yang kurang pas. Lah wong area tambangnya dikuasakan pada asing je. Bagaimana kita bisa menikmatinya kalau begitu?” kilah sang Prabu Wel-geduwel Beh. “Tambang emas kita masih banyak yang belum tergarap. Maka dari itu, saya ingin agar negara ini mampu mengelola tambangnya sendiri. Dengan cara apa? Tentunya dengan mengembangkan usaha-usaha pertambangan liar agar menjadi resmi. Selama ini ada yang keliru dalam membuat pengistilahan penambang liar. Lah wong penambangnya rakyat sendiri kok dibilang liar, yang liar itu ya yang datang dari mancanegara. Karena mereka ke sini itu menjadi pendatang. Lha kok enak-enakan menambang dengan kapasitas yang besar. Ini kan keliru namanya. Rakyat sendiri dibilang liar, tapi rakyat negara asing dibilang legal!” lanjut Petruk.

“Tapi kan untuk diakui sebagai bagian dari dunia, bukankah kita, mau tidak mau, harus mengikuti pola ekonomi masyarakat dunia, Kang Prabu?” seloroh sang wartawan.

“Dunia itu dihuni bersama, dipelihara bersama, demi kebutuhan bersama. Jadi, bukan milik segelintir penguasa di sebuah negara. Itu yang musti dicatat mas wartawan. Jangan sampai salah. Jadi, siapa yang bertanggung jawab atas dunia? Semua orang, semua bangsa, kita semua adalah yang menerjemahkan arah perkembangan dunia. Dan satu lagi, dunia bukan milik semua bangsa, melainkan milik Sang Hyang Wenang, Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi, kalau sampai ada yang mengklaim bahwa dia adalah orang atau bangsa yang merasa berhak menguasai dan mengontrol dunia itu sama artinya sudah merendahkan derajat dan kodrat manusia yang artinya juga menghina Tuhan,” jawab Petruk tegas.

Demikian itu pernyataan-pernyataan Petruk sang Prabu Wel-geduwel Beh. Fenomenal, kontroversial, bahkan mungkin sulit diterima oleh kebanyakan orang. Prinsip-prinsip kepemimpinannya, bisa saja tidak diterima oleh masyarakat dunia yang tergabung dalam organisasi-organisasi dunia. Bahkan, para dewa kahyangan yang tergabung di dalam sekretariat bersama Dwarawati merasa terganggu oleh kemunculan Petruk sebagai raja, yang tiba-tiba saja merusak sistem pemerintahan dan negara yang sudah ada.

Kendati demikian, Bagong, sebagai adik, sangat mengagumi keberanian Petruk. Menurut Bagong, Petruk memiliki sikap yang jelas dan tegas. Tidak seperti kanjeng rama Semar. Ki Lurah Semar, pada dasarnya memiliki kans yang sudah sangat memenuhi untuk jadi seorang raja. Semar jauh lebih mudah untuk meraih kursi kekuasaan. Semar sangat sakti juga bijaksana sekaligus memiliki titah dewa. Jadi, seumpama ia ingin jadi raja tinggal menggeser sedikit, maka jadilah ia. Dan Bagong yakin, rakyat akan lebih makmur jika dipimpin oleh Ki Lurah Semar. Tetapi kenapa itu tidak dilakukan?

Tetapi, di balik kekaguman Bagong terhadap kakang-nya itu, ada hal yang membuatnya merasa iri dan merasa sakit hati. Bagong merasa dirinya hanya seorang pecundang karena tidak memiliki keberanian semacam Petruk yang sudah dengan jelas melawan Rama-nya sendiri, Semar. Padahal, dia sadar, antara dirinya dan Petruk itu sama, sejenis, dan sekelas. Sementara ia sendiri tahu, apa yang dilakukan Petruk bukan hanya sebuah keberanian yang omong kosong melainkan sebuah upaya penggugatan terhadap kekuasaan yang pongah. Kekuasaan yang seharusnya tidak mendapatkan legitimasi karena hukum sudah diporandakan oleh tatanan politik yang begitu semrawut dan tidak lagi mengindahkan kaedah kamanungsan dan tidak pula menunjukkan sebuah usaha manembah kalawan Gusti Kang Murbeng Dumadhi sebagai dasar tata laksana pemerintahan. Kekuasaan telah melupakan Tuhan sebagai sumber asali kehidupan. Kekuasaan telah merampas segala hak yang hidup di muka bumi, manusianya atau yang disebut rakyatnya, alamnya atau yang disebut sebagai kawasan teritorinya. 

Ya, kekuasaan sudah lupa atas titah kamanungsan, karena mereka telah memperdaya rakyat. Hingga membuat rakyat tidak berdaya, lalu kemudian muncul istilah pemberdayaan rakyat, yang sebenarnya adalah sebuah lelucon politik para elite untuk membahasakan secara halus jika sebenarnya negara telah melumpuhkan kekuatan rakyat dengan segudang perangkat sistem ketatanegaraannya. Sementara di atas kursi kekuasaan itu, sang penguasa juga telah membabat habis hutan yang disulap menjadi lahan konglomerasi yang dekat dengan para raja, dan menghanguskan lahan pertanian rakyat, kemudian disulap menjadi jalan-jalan raya hanya untuk kepentingan kelancaran distribusi barang-barang produksi milik para konglomerasi serta untuk menumpuk kekayaan para cukong-cukong kerajaan. Sementara rakyat terus dibebani pajak dan pungutan-pungutan jalan yang sebenarnya mereka sendiri tidak pernah memetik keuntungannya. Ya, rakyat seolah tidak punya tempat tinggal di negeri Hastina itu. Mereka seolah hanya numpang ndongkrok, numpang mimpi tentang kehidupan yang makmur tanpa substansi. Mereka bagai hidup di tengah badai peradaban yang terporandakan oleh kerakusan penguasa yang korup.

Belum tuntas Bagong melamun, tiba-tiba saja di hadapannya muncul Ki Lurah Semar. Berkatalah ia, “Eeee, mbelgedes mak dumel sakdulit mak mel mel lai laithole thole, thole Bagong, Rama lihat kok kamu sajak sulaya? Ada apa to ngger anakku sing bagus dhewe Bagong?”

“Eh Rama, anu Ma, ak aku, cuma sedang mikir Ma, kenapa kok Rama ini nggak mau nyalon jadi ratu, jadi raja saja Ma? Padahal, pa pa padahal kan Rama sebenarnya sudah punya kans untuk jadi pemimpin. Bahkan malah ngalah-ngalahi Prabu Destrarastra maupun Pandudewanata loh Ma…,” jawab Bagong.

“Eeeeladalah, kok kamu sampai kepikiran macam itu thole thole. Duh jagad bathara gung lewang lewung, setan apa yang merasuki mu ngger…. Eling ya ngger, dadi ratu kuwi ora gampang ning saiki akeh sing nggampangke olehe dadi ratu. Mulane panguasa sekarang ini tidak becus ngurus rakyat. Anane mung gawe nggrundel rakyate. Kuwi apa sebabe thole? He?” kata Semar.

“Loh lah yo mesthi sebabe yen dadi ratu kuwi enak Ma. Makanya Ma, mbok Rama ndaftar dadi ratu, kayak kakang Petruk beberapa waktu lalu Ma, biar hidup kita enak nggak dibikin susah sama penguasa lagi Ma,” seloroh Bagong.

“E e e e Thole thole…. Rupanya kamu sudah kena virus kerakusan dan ketamakan ngger. Ayo ndang eling. Sudahkah kau bosan meniti peranmu sekarang ini sebagai rakyat jelata? Apa kamu sudah malu jadi rakyat kere seperti sekarang ini? Ingat ngger ketika kekuasaan dilandasi oleh semangat kerakusan dan ketamakan maka kekuasaan tidaklah akan menjadi lebih mulia dari hamba sahaya yang hanya bisa nrima ing pandum,” wejang Semar.

“Wah, nrima ing pandum. Bukankah itu hanya akan membuat kita hanya menjadi pecundang sejati, Ma? Karena kita hanya pasrah tanpa berbuat banyak untuk menentukan nasib,” celatuk Bagong.

We e e e e, nrima ing pandum iku tegese eling bukan hanya mando, mangku asta. Tetapi lebih dari itu, nrima ing pandum itu berarti kita tetap berupaya untuk membuat hidup jauh lebih baik. Memberikan kepercayaan bagi penguasa untuk melakukan tugas mulianya. Dan jika tidak mampu menjalankan tugasnya, penguasa itu wajib kita ingatkan ngger. Kalau perlu kita jewer kupingnya biar lebih terbuka hatinya, atau kita rogoh hatinya biar suksma sebagai seorang penguasa itu menjadi murni adanya. Ingat ya ngger, zaman sekarang ini jarang penguasa yang benar-benar dilahirkan dari sifat kenegarawanan. Mereka hanya dilahirkan oleh ambisi untuk berkuasa. Kalaupun dia bisa menyejahterakan rakyatnya itu masih bersifat fisik alias dari sisi wujud bukan esensinya. Karena mereka berpikir, jika kesejahteraan itu hanya dilihat dari sisi materi bukan dari sisi kebatinannya. Mereka belum bisa dikatakan telah melaksanakan darmanya sebagai pemimpin. Karena apa? Karena mereka berangkat dari ambisi untuk mendapatkan keuntungan setelah mereka berkuasa. Makanya kekuasaan mereka tidaklah dapat dikatakan mewakili kehendak rakyatnya,” jelas Semar.

“Kalau begitu, apa gunanya ada negara, apa gunanya ada kekuasaan, Ma?” tanya Bagong.

“Tetap ada gunanya to cah bagus. Hanya saja para penguasa yang lalim itulah yang sebenarnya tidak berguna. Karena mereka bukannya memberi melainkan membeli kekuasaan, yang artinya kalau kekuasaan itu dibeli maka suatu saat akan habislah kekuasaan itu dijual. Dan tidak menutup kemungkinan jika kekuasaan bisa saja tergadaikan. Jadi masihkah kamu ingin jadi Ratu?” tanya Semar.

Mendengar pertanyaan itu Bagong pun hanya menggeleng kepala. Dalam batinnya dia menyesal telah memiliki pikiran licik ala penguasa yang hanya bisa duduk di atas kursi kekuasaan tanpa sedikitpun merasa gatal oleh keluh kesah wong cilik

 

Ribut Achwandi | Pekalongan, 25 November 2013