PETRUK-GATE (PETRUK DADI RATU)

(renungan budaya)


petruk-dadi-ratu

 

Pernah dengar kasus Petruk-gate? Saya yakin Anda tidak akan pernah dengar kasus itu di negeri ini. Kasus itu hanya berlaku dan terjadi dalam dunia pewayangan, dunia bayangan. Kendati demikian, rupa-rupanya kasus ini menjadi kasus yang fatal dan berdampak besar dalam tatanan politik di negeri-negeri wayang. Bahkan, negeri kahyangan pun ikut digonjang-ganjingkan dengan kasus Petruk-gate ini. Mengapa begitu? Karena kasus Petruk-gate telah melanggar kode-kode hukum dan sistem politik ketataprajaan. Yang artinya pula telah melanggar kodrat manusia dalam sistem politik kekuasaan yang berlaku. Di dalamnya mengatur bahwa seorang raja adalah representasi kehadiran dari kekuasaan para dewa. Artinya, raja memiliki titah dewa untuk mengatur dan mengelola kehidupan rakyatnya. Tetapi, Petruk-gate, dalam kasus ini telah mengingkari hal itu dengan pendeklarasian Petruk sebagai raja. Anggapan itu dikarenakan oleh peran Petruk di dalam sistem sosial tidak lebih sekadar menjadi rakyat jelata alias wong cilik.

Tetapi, ada baiknya juga untuk mengungkap kronologi peristiwa naik takhtanya sang Prabu Wel-geduwel Beh ini. Ada mulanya, bahwa di dalam kisah Ambangan Candi Saptaharga/Saptaraga, diceritakan Dewi Mustakaweni, seorang putri negeri Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada. Pencurian pusaka itu benar-benar sempurna sampai-sampai tidak diketahui oleh siapa pun termasuk para Pandawa. Mengapa bisa begitu?

Adalah kelihaian Dewi Mustakaweni dalam ilmu penyamaran, ilmu kamuflase—kalau dalam istilah perkembangan ilmu modern sekarang ini Dewi Mustakaweni merupakan seorang ahli di bidang pemanfaatan teknologi simulasi. Ketika hendak mencuri pusaka sakti itu, Dewi Mustakaweni menyamar sebagai Gatotkaca, kerabat Pandawa, putra dari Bimasena alias Werkudara. Penyamaran itu benar-benar sempurna. Tak ada cacat. Yang artinya bahwa Dewi Mustakaweni sangat lihai memanfaatkan konsep simulakra dalam penyamarannya.

Sudah pasti, sebelum menciptakan objek tiruan (copy) ada proses yang harus dijalani. Sebagaimana dalam upaya menciptakan simulakrum yang membutuhkan scanning (pemindaian) pada objek yang akan ditiru. Dan betapa canggihnya teknologi yang dimainkan oleh Dewi Mustakaweni yang mampu menciptakan tiruan (imitasi/copy) atas objek dengan sangat sempurna. Sebab, tiruan itu tidak hanya pada bentuk fisik, melainkan pula pada potensi-potensi yang ada pada bentuk fisik objek yang ditiru. Termasuk di dalamnya gaya bicara, sikap dan perilaku, bahkan kesaktian objek yang ditiru. Benar-benar sempurna. Bahkan dapat dikatakan objek tiruan yang diciptakan Dewi Mustakaweni bukan sebuah tiruan, melainkan sebuah pembelahan dimensi. Dengan pembelahan dimensi, maka objek tiruan akan membawa sifat objek yang ditirunya.

Oleh sebab itu, proses peniruan yang dilakukan Dewi Mustakaweni dapat dikatakan sudah melampaui dari konsep simulakra, melainkan sebuah proses pembelahan dimensi yang kemudian diaplikasikan ke dalam tubuhnya sebagai objek penirunya. Pembelahan dimensi yang semacam ini menunjukkan pula adanya teknik kanibal di dalam penerapannya sebab Dewi Mustakaweni menggunakan tubuhnya sebagai objek tiruan. Di dalam proses peniruan ini, Dewi Mustakaweni membelah elemen-elemen yang ada pada objek yang ditiru (Gatotkaca) untuk selanjutnya dicangkokkan pada tubuhnya. Di sinilah kemudian terjadi kanibalisme sebab pencangkokan atas hasil pembelahan dimensi tersebut tidak memunculkan objek baru yang dihasilkan sebagai varian dari percampuran kedua objek. Justru, pencangkokan itu menghasilkan tiruan yang sama persis dengan objek asal, sebuah peralihan potensi objek yang ditiru pada objek tiruan. Apalagi jika mengamati secara saksama jenis kelamin pada dua objek tersebut. Dewi Mustakaweni adalah seorang perempuan, sementara Gatotkaca adalah seorang laki-laki keturunan raksasa dari pihak Ibu, yakni Dewi Arimbi. Sungguhpun jika ini dianggap sebagai sebuah capaian teknologi, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai pencapaian teknologi yang luar biasa dahsyat di bidang rekayasa citra dan genetika.

Lantas, mengapa pula Dewi Mustakaweni memilih sosok Gatotkaca? Ada sebab, bahwa Gatotkaca merupakan seorang patriot yang sangat patuh pada negerinya, keluarganya, dan pada kebenaran yang dipegangnya. Oleh sebab itu, dia sangat dipercaya sebagai sosok yang dapat diandalkan. Gatotkaca mewarisi sifat ayahnya, Bima, sebagai seorang ksatria yang jujur. Itulah mengapa Dewi Mustakaweni memilih Gatotkaca sebagai objek yang ditirunya. Dewi Mustakaweni beranggapan bahwa dengan menyamar sebagai Gatotkaca, ia tidak akan dicurigai. Ia akan mudah masuk ke istana Amarta.

Dan benar saja, penyamaran itu sukses! Tidak satu pun dari para punggawa kerajaan bahkan beberapa anggota keluarga besar dinasti Yudhistira yang menaruh curiga pada penyamaran Dewi Mustakaweni. Benar-benar, ini sebuah operasi agen rahasia yang paling canggih dibandingkan James Bond ataupun agen-agen rahasia lainnya. Alhasil, senjata ampuh yang dikenal sebagai senjata pamungkas, senjata yang mengungkap rahasia kehidupan itupun dengan mudah dapat digondolnya dari tangan Drupadi. Ya, Drupadi dengan begitu mudahnya menyerahkan Jamus Kalimasada itu pada Dewi Mustakaweni.

Lantas, yang jadi soal kini adalah mengapa Dewi Mustakaweni begitu antusias ingin memiliki Jamus Kalimasada itu? Semua itu dilakukan demi dendam Dewi Mustakaweni pada Pandawa yang dalam benaknya dianggap sebagai dinasti yang telah menghancurkan keluarganya.

Nah, setelah ia berhasil mencuri Jamus Kalimasada itu, terjadilah kekacauan di dalam istana Amarta. Jamus Kalimasada menjadi diperebutkan. Dinasti Pandawa tidak merelakan Jamus Kalimasada berada di tangan Dewi Mustakaweni, atau siapapun karena ada kekhawatiran jika Jamus Kalimasada berada di tangan orang yang tidak tepat, akan menimbulkan kekisruhan yang lebih besar. Dewi Mustakaweni yang kemudian oleh dinasti Pandawa diketahui sebagai pencuri pusaka sakti itu pun menjadi buron kelas kakap.

Adalah Bambang Priyambada alias Abimanyu putra Arjuna yang kemudian mengomandoi operasi perburuan Mustakaweni. Dan benar saja, Abimanyu kemudian menemukan jejak Mustakaweni lantas segera berusaha meringkusnya. Merebut kembali Jamus Kalimasada dari tangan Mustakaweni. Setelah Jamus Kalimasada itu dapat direbutnya, Abimanyu mengamanatkan Jamus Kalimasada itu pada Petruk. Tetapi, rupanya urusan belum juga selesai. Abimanyu masih ingin menangkap Mustakaweni untuk disidangkan dan mempertanggungjawabkan kesalahan fatal yang dibuatnya. Mustakaweni mengelak untuk menyerahkan diri.

Tak ayal lagi, pertarungan mereka pun berlangsung seru, meskipun itu tak diingini oleh Abimanyu. Bagi Abimanyu bertarung melawan seorang perempuan bukanlah sikap ksatria. Tetapi, Dewi Mustakaweni tetap berkeras untuk beradu kesaktian. Dewi Mustakaweni tiba-tiba melesat cepat lewat jalur udara, disusul oleh Abimanyu. Keduanya terlibat dalam aksi kejar-kejaran. Abimanyu yang berada di belakang Dewi Mustakaweni pun akhirnya terpaksa memilih menembakkan anak panahnya. Dan begitu akurat tembakan itu mengenai bagian tubuh Dewi Mustakaweni. Tubuh Mustakaweni terhuyung, limbung dan tak lagi terkontrol hingga menukik ke bumi. Melihat hal itu, Abimanyu tak lagi kuasa lalu segera menyusul tubuh yang lemah itu, dengan cekatan ia pun menangkap tubuh Dewi Mustakaweni. Pada saat itu, perang antara mereka akhirnya membuahkan getaran asmara. Abimanyu menatap dalam-dalam mata Mustakaweni yang tengah kesakitan, lalu segera diobatinya.

Sementara itu, Petruk yang sedari tadi menyaksikan adegan laga yang diakhiri dengan bumbu cinta itu rupanya tak mau ketinggalan ikut ambil bagian. Petruk benar-benar “mengamankan” Jamus Kalimasada. Dia lari dari palagan dan menyembunyikan Jamus Kalimasada. Di tempat persembunyiannya Petruk memelajari kandungan makna Jamus Kalimasada. Dan benar saja, kekuatan dan pengaruh Jamus Kalimasada yang ampuh itu telah memberinya energi yang luar biasa besar. Energi itulah yang kemudian membuat Petruk menjadi yakin. Sampai-sampai Petruk pun memiliki keberanian untuk mendeklarasikan diri sebagai seorang raja di singgasana Kerajaan Lojitengara. Ia bahkan memberi gelar nama sebagai Prabu Wel-geduwel Beh.

Melalui perannya sebagai seorang raja yang sakti, Petruk yang bergelar sebagai Prabu Wel-geduwel Beh membuka rahasia Prabu Pandupragola, raja negara Tracanggribig, yang tidak lain adalah kakaknya sendiri, yaitu Nala Gareng. Tetapi, di atas puncak kesuksesannya itu Petruk menjadi sosok yang jumawa. Dia lupa bahwa peran yang dimainkan dalam dunia pewayangan itu hanya sebagai abdi, meskipun  ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Kesaktian Petruk kali ini membuat dirinya semakin menjadi-jadi. Ia seperti ingin mengulang masa lalunya ketika ia masih punya nama sebagai Bambang Pecruk Panyukilan yang senang berkelahi dan gemar berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya. Ia lupa jika di balik kesaktiannya ada kelemahan apalagi ketika ia harus berhadapan dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba saat hendak menguji kekebalannya.

Dalam peristiwa itu, keduanya memiliki maksud yang sama, yakni ingin menjajal kesaktian mereka. Lama betul mereka berkelahi sampai-sampai tubuh Petruk cacat dan berubah wujud dari aslinya yang tampan. Perkelahian itu sendiri kemudian dipungkasi oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong. Mereka diberi petuah dan nasihat sehingga keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar.

Dan benar saja, kali ini pun kejumawaan Petruk ditaklukkan oleh Bagong yang dibantu pula oleh Semar. Bagong yang mendapatkan mandat untuk menyadarkan Petruk agar kembali pada kodrat perannya pun berhasil menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta kerajaan Lojitengara. Kalimasada kemudian dikembalikan kepada pemilik aslinya, Prabu Puntadewa.

Nah, membaca kilas peristiwa dalam jagat pewayangan tersebut, sebenarnya dapat diambil sebuah pesan. Pertama, majunya Petruk sebagai raja dapat dimaknai sebagai aksi protes yang dilayangkan kepada para ksatria. Petruk tidak hanya merasa bosan menjadi abdi bagi Pandawa, tetapi juga bosan menjadi saksi atas polemik yang berkecamuk di negeri Hastina. Konflik politik yang sedemikian rumitnya telah membuka cakrawala pemikirannya, jika sebenarnya kekuasaan yang diemban oleh para penguasa Hastina hanyalah dari hasil pencurian para penguasa terhadap kekuasaan yang sesungguhnya. Kekuasaan yang seharusnya lebih egaliter dan kekuasaan yang seharusnya lebih merakyat. Bukan menjadi ekslusifisme kekuasaan.

Dia sadar, jika kekuasaan sudah menjadi sangat eksklusif, maka jarak antara penguasa dan rakyat akan menciptakan jurang pemisah. Pada saat bersamaan, kekuasaan akan menjadi kian rapuh karena di balik sistem kekuasaan yang eksklusif justru akan memicu terjadinya konflik antara penguasa dan rakyat. Sistem kekuasaan yang demikian cenderung akan membangun apatisme karena rakyat merasa tidak memiliki andil besar dalam sebuah proses pengambilan keputusan atas regulasi-regulasi yang ada. Dengan kata lain, sistem kekuasaan yang terlalu eksklusif cenderung akan mengabaikan rakyat sebagai pilar bagi kebermanfaatan dari kekuasaan.

Sementara di pihak lain, para putra Pandudewanata yang dipimpin oleh Puntadewa, nampaknya mengalami titik lemah. Mereka yang dianggap rakyat kecil sebagai representasi pembela kebenaran dan keadilan ternyata tidak mampu berbuat banyak. Karena peran politik mereka dimatikan oleh sistem. Bahkan sampai pada suatu ketika mereka dibuat benar-benar tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Kerajaan mereka dibakar, yang akhirnya memaksa mereka harus lari dari dunia politik dan cukup berbangga menjadi pertapa pada waktu itu. Hingga suatu hari, ketika mereka kembali ke Hastina, Pandawa hanya menjadi bahan ejekan bagi dinasti Kuru.

Tetapi, di balik parodi yang ironis ini terdapat suatu ihwal yang sangat penting dalam peristiwa lakon Petruk-gate ini, yaitu menyangkut kepemimpinan. Bahwa kepemimpinan yang merupakan wujud implementasi dari kehendak rakyat adalah sebuah misi suci tentang bagaimana menghadirkan kekuasaan Tuhan sebagai roh dari pelaksanaan kekuasaan. Oleh sebab itu, pada dasarnya, peran kekuasaan adalah mengejawantahkan kehendak bersama dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk sebuah tujuan mulia. 

Catatan hitam inilah yang bisa saja menjadi catatan khusus bagi Petruk untuk mengambil peran. Setidaknya untuk membahasakan perlawanannya, jika dia sudah cukup capai dengan kondisi yang semacam itu. Dia pikir, rakyat memang harus bergerak dan mengambil posisi agar tidak dilecehkan oleh penguasa. Dia mencoba melawan oligarki kekuasaan dan monarki kekuasaan. Dia ingin melawan pakem sistem kekuasaan yang sudah menjemukan itu. Dia juga ingin mematahkan mitos kekuasaan yang mengatakan jika raja adalah keturunan para dewa. Dan dia juga ingin mengatakan jika raja atau pemimpin sebuah negara itu bukanlah jabatan sakral melainkan amanat kehendak rakyat. Sebab dia tahu, selama kekuasaan dikatakan sebagai sesuatu yang sakral, maka bukan tidak mungkin kekuasaan hanya akan digunakan oleh para penjahat negara untuk menyelenggarakan roda pemerintahan dengan model maling. Dan menurut Petruk untuk melawan korp maling di Hastinapura itu, maka ia juga harus mencuri momentum untuk menjadi raja. Hahahahaha jadi maling dilawan maling? Apa kata dunia?

 

Ribut Achwandi, 29/11/2013