Kita dan Budaya Baca

(Catatan kecil)

Sekelumit tulisan ringan ini, semoga menjadi manfaat bagi kita semua.

 


 

b-wPada sebuah perbincangan ringan antara saya dan seorang kawan, di suatu pagi, tiba-tiba saja kawan saya menanyakan pada saya soal budaya membaca. Dia berkata, “Kang saya itu heran kenapa sampeyan selalu ngomong kalau budaya baca masyarakat kita itu rendah? Padahal, kenyataannya, kalau dilihat dari jumlah penduduknya, sekarang ini hampir rata-rata rakyat Indonesia itu bersekolah loh Kang. Bahkan, di negeri ini sudah banyak sekali sarjana. Malah, ada isu yang selalu santer diberitakan, bahwa saking banyaknya rakyat Indonesia yang sekolah, ternyata juga telah membuat banyak sarjana pada nganggur Kang. Masa masih dibilang budaya membacanya rendah?”

Mendengar pernyataan sekaligus pertanyaan atau semacam gugatan itu saya pun berseloroh enteng saja, “Loh sekolah itu kan nggak tentu ada korelasinya secara langsung dengan kebiasaan atau budaya membaca masyarakat kita Kang. Lah, yang namanya sekolah itu kan sekarang ini, yang penting dapat ijazah. Selesai. Soal mereka pada mau membudayakan membaca atau tidak, lagi-lagi itu adalah pilihan. Dan sayangnya lagi, itu belum menjadi kebutuhan, Kang.”

Tidak terima dengan ucapan saya tadi, lantas si kawan saya yang jago ngeyel ini pun tetap ngeyel, “Lah iya ya…memang yang namanya kita sekolah itu sebenarnya ya cuma butuh ijazah, Kang. Tapi kan di dalam prosesnya, proses belajar, bukankah setiap orang yang pernah sekolah itu kan mestinya diwajibkan membaca sebagai sarana belajar mereka. Masa kok nggak bisa dilihat sebagai salah satu capaian upaya peningkatan budaya baca to Kang?”

“Lho, jangan keburu emosi gitu to Kang. Iya, benar kata sampeyan tadi. Yang namanya orang sekolah pasti ada proses membacanya sebagai sarana belajar. Tetapi, apa itu menjadi sebuah wujud dari kebutuhan Kang, he? Bisa jadi, membaca bagi orang-orang sekolahan itu karena sifatnya yang serba terdesak. Terdesak oleh tugas, terdesak oleh kewajiban. Lah wong dulu, waktu sampeyan atau saya sekolah, kita itu kan sebenarnya nggak pernah serius membaca buku to? Baru akan serius ketika kita dihadapkan pada tugas-tugas sekolah yang ruwet dan bikin takut, atau karena takut sama guru yang killer. Itupun kalau kita nggak ndableg. Ya to?” tanya saya.

Si kawan saya kali ini manggut-manggut. Saya tidak ngerti apa maksud anggukan kepalanya itu. Dan tak berselang lama, anggukan itu pun berubah menjadi sebuah pertanyaan besar. Ya, kawan saya ini rupanya masih saja belum puas dengan diskusi kecil itu. 

Sik Kang sik… saya masih belum bisa menerima argumentasi sampeyan yang berusan, Kang. Soalnya, yang saya tahu, untuk mengatakan seberapa butuh kita terhadap buku itu ada ukurannya Kang. Ada metode penghitungannya. Lah sampeyan kan belum mengatakan dasar hitungan itu Kang. Jadi menurut sampeyan, apa dong yang bisa dijadikan dasar penguatan hipotesis sampeyan itu, Kang?” tanya kawan saya.

“Wah pertanyaan sampeyan itu loh sangat ngilmiah banget. Kayak mau ujian skripsi, tesis atau disertasi saja,” seloroh saya.

“Bukan begitu Kang, tapi ini juga sekalian melatih kebiasaan kita untuk berpikir secara ilmiah dan sistematis. Jadi senajan wong bodho kita perlu untuk membudayakan kajian ilmiah. Biar nggak asal ngomong, nggak asal bunyi,” kata kawan saya. “Nah, kira-kira menurut sampeyan apa yang menjadi tolok ukur budaya baca kita ini Kang? Kok sampeyan bisa berargumentasi jika budaya baca kita ini rendah?” lanjut kawan saya.

“Lah ini nantang ceritanya nih…. Kalau sampeyan sudah begini, wah tandanya saya harus menunjukkan sesuatu pada sampeyan. Saya harus menunjukkan bukti. Begitu?” tanya saya.

Kawan saya menganngguk.

“Hahahahaha, baiklah kalau begitu. Saya punya cara mudah untuk membuktikan dan mengetahui indikasi rendahnya minat dan budaya baca kita saar ini. Cara ini, menurut saya adalah cara termudah yang ngawur, alias pakai kajian ilmiah ataupun penelitian yang njelimet. Gampang kok cara mengetahui indikasi rendahnya budaya baca kita saat ini,” kata saya.

“Lah iya bagaimana Kang? Bagaimana? Sampeyan kok malah sajak ngajak cangkriman wae ki loh?” kata kawan saya.

“Penasaran sampeyan? Kalau sampeyan penasaran, yuk tak ajak ke pasar sekarang,” kamipun akhirnya meluncur ke pasar. Setiba di pasar, saya ajak kawan saya nongkrong di sebuah warung. Lalu, spontan saya rogoh tas ransel saya. Saya ambil salah satu buku sekenanya dari tas itu, lalu menyodorkan buku itu kepada kawan saya. Kemudian, saya suruh kawan saya ini membaca buku itu di dekat parkiran pasar. 

“Wah sampeyan sudah edan apa? Wong di pasar kok baca buku? Nanti dikira orang keblinger Kang!” seloroh kawan saya spontan. 

“Lha bener to? Budaya baca kita masih rendah. Wong membaca kok lihat tempat segala. Kalau sudah jadi budaya itu artinya di manapun tempatnya membaca sudah menjadi sebuah kebiasaan yang tidak aneh. Membaca sudah menjadi semacam kebutuhan. Jadi, sudah seperti makanan sehari-hari. Seperti camilan, Kang! Gampang to cara membuktikannya? Nggak perlu pakai teori, pendekatan sampai metode yang ilmiah sekalipun bisa dibuktikan to?”  pungkas saya.


Ribut Achwandi, 18 November 2013