Tanda Tanya [?]

wygukur semar(Catatan Budaya)


 

Pada suatu ketika, di negeri Hastinapura, tepatnya di sebuah kondominium digelarlah sebuah seminar kelas internasional. Hadir di dalam seminar itu seluruh perwakilan kerajaan-kerajaan di dunia, termasuk para pendahulu filsof Yunani Kuno alias para nenek moyangnya Plato dan kawan-kawan. Hampir seluruh peserta ketika ditanya soal motivasi mereka hadir dalam acara seminar internasional itu memiliki jawaban yang nyaris sama persis! Yakni pengin mendengarkan pidato filsafatnya sang guru, Ki Lurah Semar, guru para ksatria putra Pandudewanata. Betapa hebatnya nama Semar. Sampai-sampai seluruh antero jagad pun merasa butuh dicerahkan oleh seorang Semar yang dari penampilan dan perawakan tidak kharismatis sama sekali. Dan memang, agenda seminar kelas dunia itu menghadirkan Semar sebagai pemateri utama. Kalau istilah zaman sekarang menjadi seorang pemakalah utama atau keynote speaker.

Tampak di sebuah sudut, tepatnya ruang kesekretariatan, panitia seminar tengah sibuk membagikan makalah yang ditulis oleh sang guru, Semar. Tampak pula orang-orang yang hadir mengantre untuk mendapatkan makalah itu. Ada yang datang dengan undangan, ada pula yang tidak. Tetapi, ketika beberapa dari mereka yang tidak datang dengan undangan hendak membayar beberapa kepeng untuk registrasi seminar, panitia dengan tegas menolak. Kendati begitu, tetap dipersilakan masuk dan tetap mendapatkan makalah. Jadi, seminar kelas dunia itu diselenggarakan gratis oleh sebuah kepanitiaan yang menamakan dirinya sebagai kelompok Punakawanis.

Setelah mereka menerima makalah itu, mereka yang hadir sibuk membuka-buka halaman demi halaman makalah itu. Tetapi rupanya, di dalam makalah itu, Semar hanya membuat judul makalah dengan sebuah tanda baca yang ditulisnya sangat besar yakni [?]. Ya, hanya sebuah TANDA TANYA yang ditulis atau tepatnya barangkali dilukisnya dengan ukuran satu halaman penuh.

Kontan, seluruh peserta seminar pada kebingungan ketika mendapati makalah yang dilukis Ki Lurah Semar itu. Mereka merasa terkecoh, karena harapan mereka adalah mereka akan mendapatkan tulisan yang memadati seluruh halaman makalah Ki Lurah Semar itu. Tetapi justru sebaliknya, sepuluh halaman makalah itu sama sekali tidak tertera satu pun kata kecuali lukisan Ki Lurah Semar yang bentuknya hanya tanda tanya. Lantas, apakah mereka kecewa? Ternyata sama sekali tidak.

Mereka yang hadir justru penasaran dengan lambang bahasa itu. Bahkan, setelah mereka menerima makalah itu dari panitia yang kebetulan diketuai oleh Mbok Cangik, mereka masing-masing langsung merangkai ratusan bahkan ribuan pertanyaan yang ingin dilontarkan pada sang pemakalah itu. Dari mulai pertanyaan iseng sampai pertanyaan yang sangat serius dan bernada filsafat banget. Semuanya ada. Komplit.

Makin penasaran mereka, rupanya mereka pun mulai berebut untuk menduduki kursi deret paling depan. Pemandangan ini jelas berbeda dengan tradisi negeri kita. Sebab, biasanya deret kursi yang paling lengang dan sunyi adalah deret kursi paling depan. Sementara deret paling belakang biasanya kalau di negeri kita adalah deretan kursi yang paling laris. Bahkan bisa habis dipesan sebelum seluruh peserta seminar ataupun rapat pada datang. Ya to?

Kini, tiba waktu yang dinanti itu. Sang pembawa acara menyilakan Ki Lurah Semar tampil disertai seorang moderator, yang tak lain adalah Petruk. Keduanya duduk lesehan. Sebab memang Semar paling kesulitan kalau disuruh duduk di atas kursi. Karenanya, Semar memilih lesehan saja. Sementara Petruk hanya menyesuaikan sang pemakalah agar tidak terjadi bloking yang njomplang – meski sebenarnya ini lebih didasarkan atas norma kepantasan saja.

“Saudara-saudara, di depan Anda telah hadir seorang guru yang secara kebetulan juga seorang ayah bagi saya. Kali ini, beliau akan memberikan paparan atas makalah yang sudah Anda terima. Saya yakin, Anda yang hadir di sini pasti tengah bertanya-tanya. Apa maksud dari makalah yang setebal sepuluh halaman itu dengan hanya membubuhkan sebuah lukisan atau gambar tangan beliau yang berbentuk tanda tanya itu, ya to? Nah, sekarang saatnya mari kita beri kehormatan kepada beliau untuk memberikan paparan. Silakan Ki Lurah Semar,” kata Petruk membuka agenda seminar itu.

“Maturnuwun saudara moderator, Petruk,” Ki Lurah Semar pun segera memulai.

Semua mata tertuju pada Semar. Hampir semuanya tidak punya keinginan untuk berkedip walau seper seratus detik sekalipun.

“Saudara-saudara. Makalah yang ada pada tangan saudara itu memang sengaja saya gambar tanpa kata-kata. Tetapi hanya sebuah gambar tanda tanya. Saya yakin, sampeyan semua pasti bertanya-tanya. Kenapa kok begitu? Dan bagaimana bisa begitu?

“Mudah saja bagi saya untuk menjawabnya. Tetapi saya kali ini tidak akan memberikan jawaban melainkan akan kembali memberikan pertanyaan pada sampeyan semua yang ada di sini. Lalu, apa pertanyaan saya? Dan bagaimana sampeyan harus menjawabnya? Yang jelas, pertanyaan yang akan saya lontarkan kepada sampeyan ini tak perlu dijawab melainkan harus dipertanyakan kembali pada diri sampeyan. Ah, pasti semua pada bingung. Daripada sampeyan semua bingung mending langsung saja pada pokok persoalan kita,” Ki Lurah Semar sebentar kemudian membenahi kain yang dikenakannya.

“Ah begini. Di dunia kita saat ini ternyata terlalu banyak istilah-istilah aneh yang bermunculan. Istilah-istilah aneh ini pula yang kemudian membuat kita secara tanpa sadar ikut-ikutan aneh. Sebagai misal, ada istilah mencari kebenaran, memangnya kebenarannya ilang kemana? Apa kebenaran itu bisa ikut hanyut di sungai, kok sampai repot-repot mencarinya segalanya? Ya to? He he he….

“Terus ada lagi, menemukan kebenaran. Lah, ini istilah yang luar biasa aneh lagi. Kebenaran kok ditemukan. Apa kebenaran itu seperti barang yang entah sengaja atau tidak, tergeletak di atas trotoar, seperti uang recehan yang tiba-tiba ditemukan oleh seorang anak kecil? Hem?! Ya to? He he he…..

“Ada juga istilah menegakkan kebenaran. Lah, kalau begitu, memangnya kebenaran itu loyo apa ya? Lalu, kira-kira dengan apa menegakkan kebenaran itu? He?!

“Ada pula sekarang ini istilah, berpihak pada kebenaran. Memangnya kebenaran itu butuh teman apa? Kan lucu kalau begini, ya to?

“Dan ada lagi istilah, membela kebenaran. Memangnya kebenaran pernah punya salah apa kok sampai dibela segala? Nah, jadi aneh to sekarang?! Dan atas dasar keanehan-keanehan itulah kemudian saya gambar saja tanda tanya itu pada makalah saya itu. Gambar itu sebagai luapan batin saya yang sebenarnya ingin menanyakan pada sampeyan semua ini, sebenarnya ada apa dengan kebenaran? Kok sampai harus dicari, ditemukan, ditegakkan, dan dibela segala? Apa ya, lantas kalau seseorang itu sudah menemukan, menegakkan, dan membela kebenaran, serta berpihak pada kebenaran itu tiba-tiba bisa dikatakan benar? Belum tentu. Ya to? Sebab, benar menurut saya belum tentu benar pula menurut sampeyan. Kalaupun kita sama-sama merasa pada pihak yang sama dan merasa berada pada jalur yang kemudian dianggap sebagai sebuah kebenaran barangkali itu karena faktor kebetulan. Kebetulan pikiran kita sama, kebetulan cara nalar kita seirama, kebetulan kita punya nasib yang sama barangkali. Ya to?

“Jadi, Saudara-saudara sekalian, sederhananya begini. Kalau kemudian kita selama ini repot berurusan dengan usaha mencari, menemukan, menegakkan, dan membela atau bahkan berpihak pada kebenaran, sebenarnya tugas kita sebagai manusia itu apa? Apa ya mencari kebenaran? Apa ya menemukan kebenaran? Atau menegakkan kebenaran? Atau membelanya? Atau bersusahpayah memihak pada kebenaran? Sebab, kita bisa saja keliru dalam menerjemahkan kebenaran itu sendiri apalagi kalau hanya mendasarkan pada maksud-maksud tertentu, atau pada kebutuhan-kebutuhan tertentu pula. Kebutuhan itu bisa jadi didasari oleh perasaan, emosi sesaat kita karena situasi dan kondisi yang kita alami pada waktu-waktu tertentu pula.

“Nah, kira-kira apa jawaban sampeyan? Sekian terima kasih,” kata Semar.

Mendengar paparan tersebut seluruh yang hadir akhirnya mengurungkan niat untuk bertanya. Mereka malah sibuk mencari jawaban atas pertanyaan Semar. Tetapi, lagi-lagi mereka ingat kata pembuka Semar bahwa pertanyaan itu tidak harus dijawab melainkan harus dipertanyakan kembali. Sebab, segala pertanyaan pada ujungnya akan membuahkan pertanyaan baru atas setiap jawaban yang diberikan pada pertanyaan sebelumnya. Selalu begitu. Berputar-putar. Kenapa begitu? Karena kita – entah itu karena alam bawah sadar atau bukan – masih belum bisa menjujurkan diri. Kita malah sibuk untuk menjujurkan orang lain. Memaksa – kalau tidak mau disebut sebagai mendoktrin – orang lain untuk berperilaku jujur. Kita sibuk mengukur kadar kejujuran orang lain, sementara kadar kejujuran diri sendiri tak diraba. Itukah kita?

Ribut Achwandi, 18 November 2013