Koyaknya Identitas Kebangsaan (Berkaca dari transisi Singosari ke Majapahit)

Oleh M. Fajru Sidqi, S.Pd., M.Hum

Di tengah identitas bangsa yang terkikis; pemuda sebagai bagian dari rakyat terus melakukan pencarian jatidiri secara liar tanpa bimbingan yang memadai. Jika dirunut setiap jaman di nusantara maka bisa ditemukan dengan mudah, bagaimana pemuda mencari afiliasi pemikiran mereka hingga mempunyai kontribusi yang baik. Sebuah ideologi diharapkan membentuk kesadaran terstruktur untuk membentuk jatidiri rakyatnya; tapi itu dengan mudah terkikis karena tidak ada kebanggaan atau ambisi untuk membuat ideologi mereka menjadi besar. Pemuda sekarang cenderung mengalami penurunan kesadaran mereka sebagai bagian dari warga negara (citizenship consciousness).
    Identitas kebangsaan, pada hakikatnya dipengaruhi oleh faktor historis yang selanjutnya akan menciptakan ikatan emosional antarindividu. Secara historis, runtutan peristiwa masa lalu diawali dari masa kerajaan yang membawa identitas kedaerahan dan ekspansi-ekspansi wilayah dilingkup nusantara. Pemegang kekuasaan memiliki pola membentuk identitas masyarakatnya dengan keagungan akan posisi kemaharajaan; tentu saja mereka punya tujuan untuk membentuk pola pikir tersebut. Mereka menyadari ekspansi wilayah, dan pengaruh membawa dampak keuntungan material, akan tetapi sebuah kerajaan tidak akan kuat tanpa ketiadaan untuk mengekspansi pemikiran.
    Sejak zaman kerajaan Singosari, bahkan sudah tertanam kesadaran kesatuan dan identitas masyarakat bahwa rakyat berjuang sesuai dengan titah tuhan dengan kebanggaan mereka akan raja pertama (ken arok) sebagai titisan dewa. Sang Rajasa Amurwabhumi; sebuah sebutan yang menunjukkan kesaktiannya mampu membuat rakyatnya tunduk dan mempunyai kebanggaan tersendiri. Spirit sebagai bagian dari rakyat muncul ketika Singosari memperluas ekspansi-ekspansi dengan pemuda-pemuda yang sakti mandraguna seperti Kebo Anabrang, sosok jenderal angkatan laut yang menaklukkan swarnabhumi, dan sangat loyal dengan Nararya Sanggrama Wijaya atau menantu Kertanegara. Jika ditilik dari kesaktian, ilmu dan pengalaman, mungkin kebo anabrang memiliki kelebihan dibanding raden Wijaya. Secara kultural; sudah ada penyisipan cara pandang (insisting paradigm) bahwa ditiap padepokan silat yang berada dikekuasaan singosari tunduk pada keagungan sang amurwabhumi. Loyalitas tersebut dihasilkan karena kesaktian, kearifan, kegagahan, dan kepercayaan yang terbangun pada masa itu. Hampir semua sang guru atau resi pada masa itu berpandangan bahwa keturunan dari wanita yang mempunyai pancaran cahaya dari rahasianya (baca:vagina) maka anak turunnnya kelak akan menjadi raja yang menguasai tanah jawadwipa. Ken Arok sang Amurwabhumi telah menemukan itu pada diri Ken Dedes. Spirit of citizenship muncul karena keagungan sang founding father. Impian-impian rakyat yang selalu dipatrikan pada anak-anaknya adalah sebuah kebanggaan ketika mereka berperang disisi anak keturunan amurwabhumi.
    Pada masa lalu; sebuah sabda atau titah yang diucapkan seorang guru bukanlah ucapan yang sembarangan. Hal itu diyakini sebagai sebuah ramalan masa depan. Jika dipandang dari sisi manusia sebagai makhluk teosentris, maka tidaklah salah karena seorang guru sangat dekat dengan tuhan sehingga ucapannya dianggap sebuah titah yang kelak terbukti. Padepokan sebagai tempat masyarakat mempelajari ilmu kebijaksanaan hingga kanuragan disistematisasi untuk membentuk militansi rakyat singosari. Hasilnya identitas pemuda pada waktu itu terbentuk adalah loyalitas tanpa pamrih demi kebesaran negara dan tahta penerus amurwabhumi. Loyalitas kepada penerus amurwabhumi semakin terbukti ketika singosari runtuh akibat serbuan Jayakatwang, raja gelang-gelang kediri, para arya terkemuka singosari masih bersumpah setia kepada sanggrama wijaya. Mereka merintis bersama kerajaan Majapahit sebagai pengganti atas tanah singosari; tentunya dengan sumpah setia mereka melestarikan keturunan Ken Arok sang Amurwabhumi.
    Upaya meneruskan pemikiran dan cara pandang tentang identitas kebangsaan (weltanschaung) tidaklah mudah. Harus ada upaya yang dilakukan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, dan sekolah untuk meneruskan tradisi. Kombinasi yang kuat diantara mereka akan menghasilkan generasi-generasi yang bangga terhadap negara,bangsa, dan jatidiri. Sekarang telah terjadi  pergeseran paradigma (shifting paradigm) bahwa yang menguatkan persatuan adalah materi, dan superioritas grup karena keunggulan tertentu. Semoga kita bisa belajar dari loyalitas pendahulu-pendahulu kita sebagai peletak sesungguhnya kearifan bangsa kita; yaitu melalui penghormatan kepada guru, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan kebanggaan kepada bangsanya.