KORUPSI = PENGRUSAKAN ALAM

 Warta Kampus 


 

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Islam Indonesia Prof. Dr. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D saat memberikan ceramah dalam Seminar Nasional “Peran Perguruan Tinggi atas Destruksi Perilaku Koruptif: Mengikis atau Membudayakan?” di ruang auditorium Kampus Unikal hari Rabu (4/12)

UNIKAL, (Kamis, 5/12)—Praktik kejahatan korupsi tidak hanya merusak tatanan hukum, politik, sosial, maupun ekonomi. Tetapi, korupsi telah merusak tatanan kehidupan itu sendiri. Hal itu disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Islam Indonesia Prof. Dr. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D saat memberikan ceramah dalam Seminar Nasional “Peran Perguruan Tinggi atas Destruksi Perilaku Koruptif: Mengikis atau Membudayakan?” di ruang auditorium Kampus Unikal hari Rabu (4/12) kemarin.

Menurutnya, kerusakan utama dan pertama yang diakibatkan dari praktik kejahatan korupsi adalah alam dan lingkungan. Sehingga, kerusakan hukum, sosial, politik, dan seluruh aspek kehidupan masyarakat adalah dampak yang ditimbulkan dari kerusakan alam.

“Munculnya korupsi pada dasarnya dimulai dari konspirasi antara penguasa dan pengusaha. Dalam hal ini, konspirasi dilakukan untuk memuluskan jalan bagi pengusaha untuk menjalankan proyek pembangunan yang kadang-kadang justru jauh dari manfaat. Akibatnya, eksplorasi dan eksploitasi alam besar-besaran dilakukan, yang akhirnya justru merusak tatanan kehidupan masyarakat,” ungkap mantan Anggota Komisi Konstitusi itu di hadapan ratusan peserta seminar.

Ditegaskan pula, eksplorasi dan eksploitasi alam yang dilakukan oleh para pemodal besar telah berakibat pada pemiskinan masyarakat sekitar. Sebab, masyarakat dengan segala keterbatasan kemampuan modal tidak mampu menyaingi pengusaha besar dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi.

Peluang yang tidak seimbang tersebut memicu terjadinya kemiskinan. “Beberapa daerah yang pernah saya teliti, ternyata menunjukkan fakta yang miris. Daerah yang kaya sumber daya alam, setelah dieksplorasi dan dieksploitasi oleh pemodal raksasa justru mengalami kemiskinan,” ujar tokoh hukum kelahiran Bandung, 8 September 1956 silam itu.

Untuk alasan itu, menurut pengarang buku Terorisme Negara tersebut, Indonesia perlu mengadakan penanganan segera dalam memberantas korupsi. Dalam pandangannya, ia menawarkan sebuah solusi agar hukum di Indonesia perlu pula memberi ruang bagi hukum agama Islam untuk dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan rujukan dalam menuntaskan masalah korupsi yang kian parah di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.

“Di dalam bahasa Al Qur’an, koruptor sama kedudukannya sebagai seorang pencuri. Sementara di negeri ini, istilah koruptor seolah-olah telah mengalami eufimisme. Istilah koruptor seolah-olah menjadi berbeda makna dengan pencuri. Oleh karena itu, seorang koruptor dianggap lebih tinggi kedudukannya dari seorang pencuri,” tandas Jawahir.

Ironi semacam ini, pada akhirnya membuat seolah-olah koruptor lebih mulia dari seorang pencuri. Padahal, di dalam prinsip hukum yang berkeadilan, warga negara ditempatkan pada posisi yang sederajat. Oleh karenanya, menurut Jawahir, untuk dapat menegakkan hukum dan keadilan, sudah saatnya kini eufimisme semacam itu dihapuskan. [Unikal.news.room/erge/dec.2013]