Berguru pada Punakawan, Guru Para Ksatria

(sesobek renungan kecil dari selembar kertas kerja)


 5-fqfn7thj-punakawan


Di dalam jagat pewayangan, kita kenal yang namanya sekelompok tokoh yang menamai dirinya sebagai Punakawan. Kelompok ini tidak lain merupakan guru bagi para ksatria putra Pandu Dewanata. Mereka (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong) bukanlah jenis manusia yang suka menghambakan diri pada gelar-gelar, sebagaimana para ksatria yang lebih memilih senang “merenangi” dunia citra. Sungguh sangat jauh dari cita rasa gelamor atau mewah. Apalagi ketika melihat cara mereka berpenampilan.

Kendati demikian, seperti dikisahkan dalam epos Mahabarta versiJawa, keempat tokoh yang tergabung di dalam kuartet Punakawan itu tergolong orang-orang yang sakti dan memiliki kawruh kang linuwih (ilmu yang sudah melebihi dari apa yang dimiliki oleh orang kebanyakan). Tetapi, di dalam kelebihan mereka itu, mereka justru memilih menjadi para pelayan. Mereka menjadi guru yang melayani. Guru yang tidak sekadar bisa muruk’ atau ‘mulang’, melainkan pula bisa ‘momong’, karena melalui pengetahuan yang mereka miliki mereka menjadi penghibur. Menjadi sosok-sosok yang menyenangkan. Mereka juga tidak sekadar bisa ‘momong’ tetapi juga bisa ‘nuntun’, karena di dalam setiap guyon atau lelucon yang mereka tunjukkan terdapat makna keteladanan yang bisa dipetik oleh para muridnya. Di sisi lain, karena sadar akan posisinya sebagai pelayan, mereka pun tidak menunjukkan sikap yang arogan. Tetapi, di situlah mereka kemudian disegani dan dihormati. Padahal, mereka tak pernah mengharapkan penghormatan itu, karena mereka bukan sekelompok orang yang suka pamer kapintêran lan kasêktén, melainkan orang-orang yang selalu hidup dalam kesederhanaan.

Ada baiknya pula sebelum lebih jauh mengupas tuntas pelajaran mengenai Punakawan ini, saya ketengahkan pula makna dari kata punakawan itu sendiri. Istilah Punakawan atau juga disebut Panakawan berasal dari dua kosakata yaitu “Pana” yang artinya memahami, dan “kawan” yang artinya teman atau teman hidup yang selalu mendampingi. Secara implisit, Punakawan merupakan gambaran menganai kawruh kejawen “Sedulur Papat, Lima Pancer”.

Mitologi orang Jawa, baik dalam ranah etika maupun moral ala Jawa, mengandaikan sebuah hubungan yang harmonis. Atau yang kerap dinamai sebagai laras atau keselarasan. Keselarasan ini diciptakan melalui hubungan yang baik dan saling menjaga antara makro dan mikro kosmos. Oleh karena itu, makna “sedulur papat lima pancer” merupakan salah satu bagian dari pengejawantahan konsep mengenai laras itu tadi.

“Sedulur papat” oleh orang Jawa dimaknai sebagai eksistensi dari sedulur papat (empat saudara) yang selalu menyertai seseorang dimana saja dan kapan saja, sepanjang hayatnya di dunia. Tugas mereka tidak lain adalah setia membantu. Mereka tidak berwujud secara fisik. tetapi ada baik dan kamu juga harus mempunyai hubungan yang serasi dengan mereka yaitu :

  1. Kakang kawah, saudara tua kawah, dia keluar dari gua garba ibu, tempatnya di timur warnanya putih.
  2. Adi ari-ari, adik ari-ari, dia dikeluarkan dari gua garba ibu, tempatnya di barat warnanya kuning.
  3. Getih, darah yang keluar dari gua garba ibu sewaktu melahirkan, tempatnya di selatan warnanya merah
  4. Puser, pusar yang dipotong sesudah kelahiran, tempatnya di utara warnanya hitam.

Sedangkan “lima pancer” dimaknai sebagai badan jasmani. Lima pancer inilah yang juga oleh sebagian orang Jawa disebut sebagai kiblat dari sedulur papat, menjadi pusat dari empat penjuru. Oleh karena itu, sedulur papat itu ada karena eksistensi badan ada. Pemahaman yang demikian sebenarnya mengisyaratkan pada manusia Jawa untuk bisa menjaga keseimbangan alam.

Jika demikian, Punakawan pada dasarnya merupakan sebuah konsep kesadaran atas kedudukan manusia yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, Punakawan menjadi guru yang tidak membutuhkan menjadi hadir. Tetapi mereka “ada” di dalam absensial-nya. Mengapa begitu?

Karena mereka sadar bahwa menjalani hidup sebagai guru berarti pula memilih hidup untuk mendermakan hidup mereka sebagai pengabdi. Mengabdi dengan keikhlasan, tanpa pamrih. Memilih hidup untuk menyembunyikan diri untuk menghindari dari kesombongan dan kepamrihan. Memilih hidup untuk bersetia dengan yang diêmong.

Mereka juga sadar, bahwa menjadi pamomong itu sama artinya penyerahan diri pada titik nol. Oleh karena itu, mereka memilih berada di dalam ketiadaan. Mereka memilih untuk menyingkir dari hingar-bingar kesemrawutan dunia yang memampang berbagai realitas yang semu. Tetapi, bukan berarti mereka tidak peduli atau apatis. Sebaliknya, kepedulian itu ditunjukkan melalui kehadiran mereka yang kadang tak terduga. Tetapi, bukan untuk menunjukkan eksistensi diri atau bahkan narsisitas.

Mereka memahami bahwa urip mulya lan mukti itu hanya dapat dijalani dengan proses yang tidak cukup hanya dengan benar tetapi juga harus baik. Proses yang dinamai sebagailaku. Laku kabudayan lan manêmbah maring Gusti Kang Murbéng Dumadhi. Dengan begitu, seorang guru sejati akan benar-benar mampu mendermakan segala pengetahuannya dan segala kemampuannya guna terciptanya harmonisasi kehidupan yang dalam masyarakat kita kenal dengan sebutan guyub.

Guyub tidak sekadar bisa saling bertegur sapa melainkan pula saling dapat memahami satu sama lain. Guyub bukanlah sebatas bagaimana kita saling menjaga sikap. Sebab, sikap yang kita tunjukkan belum tentu dapat menjadi tolok ukur laku. Bisa jadi, sikap hanya sebuah perilaku semu. Basa-basi, atau hanya sebuah kepura-puraan. Pura-pura baik, atau pura-pura tidak baik. Guyub bukan ladang persemaian kepura-puraan melainkan sebuah ladang keberterimaan kita terhadap segala sesuatu, baik yang ada di dalam diri kita maupun pada orang lain. Dengan begitu, menjadi sebuah keniscayaan bahwa guru bukan sekadar kalungguhan (sebuah posisi) melainkan sebuah pendermaan. Guru adalah sebagian dari laku bukan sekadar pekerjaan. Karena sebuah laku, maka guru seyogyanya memiliki daya cipta, rasa, dan karya bukan sekadar kerja. Guru adalah sebuah proses berkarya bukan sekadar sebuah mata pencaharian. Karenanya, guru itu tidak cukup hanya dengan dicetak melainkan pula harus dilahirkan. Dilahirkan dari rahim yang penuh kasih sayang, yang dijaga dengan penuh keikhlasan tidak cukup hanya dengan tanggung jawab. Rahim yang membuahkan kebijaksanaan. Rahim yang sekaligus menjadi kawah candradimuka, kawan yang dijaga para resi dan orang-orang pilihan.

Begitu pula dengan para punakawan, mereka lebih memilih mendarmakan diri dalamlaku. Mereka tidak butuh disebut sebagai apa dan siapa, melainkan hanya melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tidak hanya untuk diri mereka, melainkan untuk orang lain dan orang banyak. Tidak memperhitungkan pula berapa besar keuntungan dari apa yang sudah mereka lakukan, sebab barangkali saja mereka sebenarnya pernah sakit hati kepada bêndara-nya – para putra Pandhu, yang terkadang tidak merespon aspirasi mereka. Tetapi, mereka tidak menciut untuk tetap mengingatkan dan ngêmong. Sebab, mereka sadar, mereka hanya pêndhérék, abdi. Dan mereka sadar, bahwa pada hakikatnya semua manusia hanya pêndhérék. Semua adalah abdi. Para penguasa, sejatinya adalah abdi. Karena yang harus mereka lakukan adalah menciptakan suatu keniscayaan bagi rakyatnya, bagi negerinya, tentang kehidupan yang lebih baik. Tidak cukup hanya mengatur dan mengelola, melainkan pula butuh kreatifitas dalam mendayagunakan segala kemampuan dan kemauan untuk sebuah perubahan nasib. Perubahan nasib bersama, bukan nasib pribadi.

Begitu pula dengan para guru, mereka adalah orang-orang pilihan, yang dilahirkan menjadi seorang guru. Menjadi seorang seniman kehidupan. Karena dari kelembutan kasih sayang mereka, denyut nadi kehidupan menjadi harmonis, menjadi lebih indah. Sebagai seorang seniman, maka sudah sewajarnya jika guru mampu memandang keindahan tidak hanya dalam rupa, jauh lebih dari itu, guru mampu menyelami keindahan dalam kaidah yang beragam. Bahwa keindahan tidak semata ditafsirkan menjadi satu suara, melainkan tercipta dari perbedaan yang menimbulkan harmonisasi.

 

Ribut Achwandi | 12 November 2013