MEMBACA BHISMA

(secuil catatan budaya)

oleh Ribut Achwandi


Pementasan teater Dalam kisah Barathayudha, kita kenal sesosok tokoh yang bernama Bhisma. Seorang lelaki tua yang ditokohkan sebagai sesepuh dari keluarga besar Hastinapura yang sekaligus dijadikan panutan bagi dua wangsa, yakni Pandawa dan Kurawa. Dia begitu dihormati, disegani bahkan dielu-elukan sebagai tokoh yang menjadi penjaga tradisi wangsa Baratha. Putra dari buah cinta Prabu Sentanu, raja Hastina  kepada Dewi Gangga (Dewi Jahnawi) ini, dalam sebuah kesempatan telah melancungkan dirinya sebagai sosok yang suci. Dengan sumpahnya yang tak akan menikahi satu pun perempuan, dia kemudian mengenakan jubah kesucian. Keputusan itu tak lain dan tak bukan disebabkan oleh rasa cintanya pada Dewi Amba yang tak pernah menjadi sebuah kenyataan. Perempuan yang diam-diam dicintainya itu terbunuh oleh tangannya sendiri akibat kecerobohannya.

Sebagaimana dikisahkan dalam epos Mahabaratha, Bhisma yang dengan bangga menuju di atas pentas sayembara untuk mendapatkan putri bagi Raja Hastina dan memboyong tiga orang Dewi, telah jelas-jelas menang. Alhasil, ia pun memenangi Dewi Amba. Dia berhak untuk memboyong dan memperistri Dewi Amba yang sebenarnya mencintai Bhisma. Tetapi rupanya, cinta Dewi Amba tak lekas dijawab Bhisma. Dia merasa menjadi orang yang tak tepat untuk Dewi Amba, karena dia hanya mewakili Raja Hastina untuk mendapatkan Dewi Amba. Kendati demikian, Dewi Amba tak jua lekas menyerah. Dewi Amba tetap berteguh hati ingin hidup bersanding dengan Bhisma sebagai istri. Tetapi, Bhisma tak jua takluk oleh isak tangis mengiba Dewi Amba. Bhisma mengambil sebuah keputusan untuk menakut-nakuti Dewi Amba dengan senjata saktinya. Celakanya, senjata sakti yang ia gunakan untuk menakut-nakuti Dewi Amba justru telah membunuh Dewi Amba.

Dalam pelukan Bhisma, Dewi Amba yang sedang sekarat akhirnya mendengar ucapan Bhisma yang perkasa itu. Sebuah ucapan yang jujur, bahwa Bhisma memendam perasaan yang sama terhadap Dewi Amba. Lalu, Dewa Maut pun menjemput seketika. Roh Dewi Amba yang keluar dari jasadnya tiba-tiba bersumpah atas nama cintanya, bahwa kelak dia akan menjemput Bhisma agar bisa bersama di alam lain. Dengan segenap penyesalan yang terlambat itupun Bhisma menyanggupinya.

Lewat kelumit gambaran kisah asmara Bhisma, dapatlah dipahami bahwa kecerobohan Bhismalah yang telah membawanya ke dalam lingkaran kamuflase kesucian. Jubah suci yang dikenakan bukanlah sebuah kelahiran melainkan diciptakan dan dihadirkan sebagai penghapus luka lama, penghapus sejarah. Lebih celakanya lagi, pilihan Bhisma untuk mengenakan jubah serba putih itu telah mengurungnya dalam sebuah sekat yang menjeratnya untuk tidak bisa berbuat apa-apa, walaupun dia adalah penerus tradisi wangsa Baratha. Bhisma memilih untuk menjauhi konflik yang dihadapi oleh dua keluarga, yaitu antara putra Pandhudewanata dengan putra Dretarastra. Meskipun sebenarnya Bhisma adalah kunci dari segala prahara di Hastinapura. Bhisma memiliki andil besar dalam menentukan setiap kebijakan di negeri itu. Termasuk mengenai peperangan besar dua keluarga yang masih sedarah dan satu nenek moyang itu. Tetapi, mengapa ia memilih diam hanya karena tak ingin jubah putihnya dilumuri darah?

Bahkan, pada suatu ketika, Bhisma seperti kehilangan taringnya manakala harus menghadapi kekisruhan di istana Hastinapura. Ketika itu, Duryadhana dan balakurawanya menantang Yudhistira untuk bermain dadu. Sama sekali Bhisma tak berkutik, bahkan melarang pun ia tak punya kuasa. Padahal ia tahu, Yudhistira, putra tertua Pandudewanata adalah seorang ksatria yang tak lihai bermain dadu. Sudah pasti Yudhistira kalah. Tetapi, mengapa Bhisma memilih diam tak mencegahnya?

Parahnya lagi, di tengah pemandangan arena judi dadu itu, sebagai sesepuh Hastina, Bhisma dibuat tak bisa berbuat apa-apa oleh cucu Kurawanya itu. Di hadapannya, Dursasana adik dari Duryadhana, terang-terang menelanjangi Drupadi, taruhan dari Pandawa. Sosok perempuan cantik inilah yang kemudian harus menjadi korban bagi kehormatan mereka baik Kurawa maupun Pandawa. Tapi ironisnya, sang Bhisma, lelaki yang tidak terkalahkkan itu diam.

Padahal sebenarnya, kalaupun dia mau, dengan kuasanya dia bisa menghentikan pertunjukan itu. Tetapi kenapa tidak ia lakukan? Karena satu hal, dia terlampau menganggap bahwa dirinya adalah suci. Dia merasa tidak bisa disentuh oleh hukum manapun. Sehingga kemelut yang berkepanjangan hingga membuahkan peperangan pun harus terjadi. Dan celakanya lagi, Bhisma lagi-lagi tidak bisa mencegahnya. Dia hanya manut dengan titah penguasa yang lalim itu. Destrarata dan Duryadhana. Hingga akhirnya ia pun harus menebus segala kesalahannya itu dengan memilih mati oleh hunjaman anak panah Srikandi, titisan Dewi Amba yang menuntut balas kematiannya dan menjemputnya ke alam mayapada. Bhisma gugur di atas kasur anak panah Arjuna setelah sekarat oleh panah Srikandi.

Nah, sepenggal kisah ini sebenarnya ada hal menarik yang bisa kita ungkap bersama. Kondisi yang demikian, sebenarnya tidaklah jauh beda dengan negeri ini. Mari kita tengok sejenak, apa yang terjadi di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Di sini, negeri subur ini, ada berapa banyak makelar kasus, makelar pajak, makelar hukum, bahkan koruptor berkeliaran di lembaga-lembaga pemerintahan, sampai kelas kelurahan? Banyak. Dan sudah tidak dapat terhitung lagi jumlahnya. Ada berapa macam kejahatan yang dilakukan oleh warga negara, khususnya para elite di negeri ini? Hitungan jari sudah tak muat lagi. Tetapi, apa yang sudah dilakukan oleh orang macam Bhisma itu di negeri ini? Hampir bisa dikatakan tidak ada. Karena ketidaktegasan pola kepemimpinan yang ada. Karena takut jika ketegasannya diartikan sebagai kekejaman. Padahal, ketegasan sangat berbeda dengan kekejaman. Tegas bukanlah kejam. Tetapi tegas adalah sebentuk implementasi dari kekonsitenan seseorang yang memiliki tanggung jawab terhadap apa yang sudah diambilnya. Sehingga tidak ada jalan lain selain melaksanakan dharmanya. Bukan menghindar hanya untuk alasan yang tidak jelas. Karena sesungguhnya menghindar akan semakin mempertajam ujung anak panah yang pada akhirnya hanya akan berbuntut pada kondisi chaos, kacau. Karena rakyat akan sangat tidak percaya dengan pola kepemimpinan dan model pemerintahan yang demikian. Sehingga pecahlah perang dengan jargon membela kebenaran yang bisa saja kabur maknanya.

Kita tentunya masih ingat tragedi Trisakti, tragedi Semanggi dua, tragedi Malari, bahkan tragedi Koja yang sudah hampir mirip perang itu. Ini bukan tragedi politik melainkan tragedi kemanusiaan yang paling memilukan dalam catatan sejarah bangsa ini. Hingga kadang saya pun harus bertanya, benarkah ini untuk sebuah kebenaran?

Mari kita tengok lagi, peperangan Barathayudha apakah bisa dikatakan sebagai peperangan untuk membela dan menegakkan kebenaran? Bisa saja tidak. Sebab, muncul kesan di sana, bahwa perang yang dijalani oleh Kurawa dan Pandawa adalah perang untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan antara dua dinasti. Bukan untuk membela rakyat mereka. Kita bisa lihat, ada berapa rakyat yang tersisa dalam perang itu yang kemudian ikut Yudistira? Tidak ada. Karena Yudistira sendirian dan kesepian setelah memenangi peperangan itu. Sehingga pada akhirnya dia sadar betul bahwa kemenangan yang dicapai dinasti Pandawa bukanlah kemenangan hakiki. Kemenangan yang tidak ada gunanya. Kemenangan yang tidak memberikan manfaat bagi rakyatnya sendiri karena ia tidak mampu membawa segelintirpun seorang manusia yang bisa ia tata kemudian. Dan itulah kekonyolan perpolitikan negeri ini yang kadang menisbikan hukum. Hukum dijadikan objek bukan subjek, hukum dijadikan pelengkap dan bukan predikat, sehingga wilayah kerja politik seolah tidak tersentuh oleh hukum. Sementara kerja hukum terkadang justru terkooptasi oleh kepentingan politik.