Kanca Wingking

 Artikel : Ribut Achwandi

Makna istilah “kanca wingking” (teman di belakang), oleh para penganut feinis Barat kerap salah dipahami sebagai teman atau kaum yang hanya dibolehkan berada di belakang atau teman yang tak boleh maju alias terbelakang. Dengan ungkapan lain, ada yang mengatakan bahwa makna dari “kanca wingking” itu berarti menempatkan suatu kaum—terutama perempuan—berada di dapur alias hanya mengurusi urusan domestik. Akibatnya, muncul kesan bahwa konsep mengenai “kanca wingking” hanya berpotensi merugikan kaum perempuan, karena pandangan ini dianggap telah mensubordinatkan kaum perempuan.

     Padahal, jika kita amati secara saksama, istilah “kanca wingking” memiliki dua kata. Kata pertama adalah “kanca” (teman). Dalam bahasa Indonesia, kata teman mengandung maksud: 1) kawan; 2) orang yang bersama-sama bekerja; dan 3) lawan bicara. Maka dari itu, istilah “kanca” sebenarnya dapat dimaknai sebagai kedekatan, keakraban, kerja sama, atau pula dukungan yang di dalamnya terdapat sebuah upaya untuk saling memberi, dialog, dan saling melengkapi.

     Sementara, kata kedua, yaitu “wingking” (belakang) mengandung maksud sebagai: 1) bagian benda yang dianggap sebagai punggung; 2) arah atau bagian yang menjadi lawan muka (depan); 3) (di) balik sesuatu; 4) waktu yang akan datang; nanti; kelak. Melalui pemahaman yang demikian, maka kata “wingking” dapat dipahami sebagai kekuatan penyeimbang dari apa yang ada di depannya atau pula sebagai sebuah potensi yang memiliki visi ke depan, sebuah visi itu sendiri. Karena kemampuannya membaca gejala masa kini dan membaca visi masa depan, maka segala hal yang demikian kemudian tidak harus diumbar. Ia (“wingking”) kemudian menjadi sebuah rahasia besar yang berpotensi akan menciptakan hal-hal besar, memroduksi gagasan-gagasan besar. Sebagaimana dapur yang senantiasa menghadirkan sebuah ide-ide besar melalui cita rasa kulinernya. Dapur tidak hanya menjadi simbol bagaimana sebuah makanan diproduksi, melainkan pula sebuah ruang bagi tumbuh kembangnya ide-ide brilian untuk menciptakan sajian yang mampu mendorong kepada keselarasan hidup dalam sebuah keluarga. Dapur pula yang sesungguhnya menciptakan keakraban antartetangga atau bahkan mencipta rasa persaudaraan.

     Di sinilah kemudian terdapat korelasi antara “kanca wingking” dengan “tut wuri handayani” sebagai konsep dasar mengenai keikutsertaan, partisipasi. Oleh sebab itu, konsep “kanca wingking” sebenarnya sebuah konsep yang mampu mengetengahkan tema besar mengenai partisipasi dan kerja sama bukan sekadar tuntutan emansipasi. “Kanca wingking”, dengan demikian, justru dapat diposisikan sebagai kritik bagi sistem kepemimpinan, terlebih dalam keluarga.

     Dalam pengertian yang lain, “kanca wingking” adalah segala sesuatu yang berada di balik layar. Sebagaimana halnya dengan pergelaran wayang kulit, estetika di dalam pergelaran wayang kulit justru dapat dinikmati dari balik layar. Bagaimana kemudian bayangan mampu memroduksi sebuah ruang estetis yang seolah-olah mampu menghadirkan citra-citra yang hidup dan bagaimana pula ruang estetika itu dapat dinikmati, semuanya berada di balik layar bukan dari depan layar.

     Maka dari itu, konsep mengenai “kanca wingking” sebenarnya tidaklah selalu salah dan keliru. Sebaliknya, ia mendorong pada pemahaman nalar kesadaran akan peran besar masing-masing yang sebenarnya saling mendukung satu sama lain. “Kanca wingking” bukan sebuah kerangkeng, melainkan sebagai sebuah tungku panas yang akan mematangkan ide-ide besar dan karya-karya besar. Sebuah ruang kerja kritik yang mampu mempertajam visi masa depan. Sebab, di dalamnya terkandung maksud motivasi bahkan inspirasi yang sejalan dengan “tut wuri handayani”. Di sisi lain, “kanca wingking” adalah sebuah ruang untuk terus mengasah dan memelihara keselarasan hidup bukan sekadar sebuah penempatan pada masing-masing peran untuk diklasifikasikan ke dalam kelas-kelas. Sebaliknya, “kanca wingking” adalah sebuah cara untuk berdiskusi, berdialog, dan bertukar ide. Atau pula sebagai tempat menempa ide. Dari “kanca wingking”-lah sejatinya muncul sebuah helat besar tentang bagaimana sistem kemudian dijalankan untuk menjawab tantangan zaman. Oleh sebab itu, berbanggalah mereka yang menjadi “kanca wingking” karena dari “kanca wingking” ada “tut wuri handayani“. [karigon/wst/pekalongan]