Kabar dari Pati (Bersuluk Maleman Bersama Anis Sholeh Ba’asyin)

 

Foto bersama Laskar PMK(Reportase Budaya)

 


 

Malam itu (Jumat, 15 November 2013), di pelataran Rumah Adab Indonesia Mulia yang merupakan markas besar Bang Anis Sholeh Ba’asyin di Pati, orang-orang berkumpul dalam sebuah perjamuan budaya Suluk Maleman. Sebuah acara rutin yang diselenggarakan oleh tuan rumah, Bang Anis Sholeh Ba’asyin setiap bulan sekali. Tetapi, malam itu, bagiku dan juga kawan-kawan lain yang tergabung di dalam laskar PMK (Puisi Menolak Korupsi) yang dikoordinatori Sosiawan Leak, menjadi malam yang istimewa. Kami yang datang dari berbagai penjuru Nusantara dikumpulkan dalam sebuah helat budaya yang luar biasa ini, sebuah perjamuan yang tidak main-main. Begitu hangat kami disambut, begitu mesra keakraban yang tercipta. Segala perbedaan yang ada pada kami (perbedaan tentang asal-usul, budaya, status sosial, profesi, dan sebagainya) runtuh seketika. Tak ada lagi benteng yang membuat jarak.

Menit-menit pertama, acara dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan dengan begitu indah. Disusul pula doa yang dilantunkan dengan begitu syahdu. Serasa semua yang hadir diajak dalam kesyahduan yang harmonis antara umat manusia dengan Sang Pencipta. Tak berselang lama kemudian, lantunan shalawat didengungkan. Irama-irama kerinduan dilantunkan sampai memuncak, hingga aku serasa dibawa kepada sebuah sejarah masa lampau yang terimajinasi dengan begitu indahnya. Benar-benar, ini adalah perjamuan kerinduan yang demikian menghebat. Sebuah helat budaya yang dipenuhi oleh energi cinta Sang Maha Cinta. Segenap cinta dan rindu tumpah dalam derai doa-doa dan puji-pujian.

Dalam segenap curahan cinta dan rindu itulah aku yang ikut berkumpul pada malam itu merasa kembali mendapatkan semangat baru, energi baru. Aku lanjutkan perjalanan malam itu, menelurusi tiap jengkal sunyi yang dihadirkan malam. Lewat lantunan lagu yang dibawakan kelompok musik Orkes Sampak GusUran yang dikomandoi Bang Anis Sholeh Ba’asyin, aku merasa terbius. Kakiku, tanganku, detak jantungku seperti mengikuti irama dan ritme yang dihadirkan dalam ketukan musik dan titian nada yang dimunculkan. Dingin malam lantaran hujan seharian tak lagi terasa, tersingkir oleh energi yang baru aku dapatkan di Rumah Adab Indonesia Mulia ini. Irama gamelan yang dipadukan dengan alat-alat musik lainnya membuat imajinasiku ikut menari dan bermain dengan lirik-lirik yang terlantunkan. Sungguh, itulah malam yang membuatku tenggelam.

Sampai pada gilirannya kemudian, Bang Anis Sholeh Ba’asyin, sebagai tuan rumah, memulai sebuah perbincangan yang dahsyat tentang bagaimana sebenarnya korupsi berpangkal. Bang Anis mulanya bercerita tentang sebuah peristiwa nyata, “Di Amerika, ada seseorang yang membeli sebuah meja antik. Setelah tawar-menawar oke, meja yang dibeli itupun lekas-lekas dibawa. Tetapi, sesampainya di rumah, tiba-tiba di dalam laci meja itu terdapat berlembar-lembar uang pecahan seratus dolar Amerika yang jumlahnya miliyaran. Apa yang dilakukan si pembeli meja ini? Si pembeli meja ini, ketika menemukan uang itu merasa bahwa itu bukanlah uangnya. Uang itu bukanlah haknya, karena yang dia beli adalah meja tanpa ada embel-embel uang di dalamnya. Lalu, si pembeli itu pun bergegas melaporkan kepada pemilik toko dan mengembalikan uang temuan itu. Si pembeli juga meminta agar pemilik toko melacak siapa pemilik meja yang dibelinya itu. Dan benar saja, akhirnya setelah dilacak keberadaan pemilik pertama meja itu, diketahui pula bahwa uang yang ada di dalam meja itu adalah uang warisan. Bergegas pula uang itu dikembalikan pada si pemilik uang itu.”

Kelumit kisah nyata tersebut membuka sebuah obrolan panjang. Bang Anis kemudian menjelaskan makna di balik peristiwa itu. Kata Bang Anis, “Ada dua hal penting yang bisa kita ambil pelajaran dari peristiwa ini. Dua hal itu adalah kejujuran dan amanat. Pada saat si pembeli meja itu merasa bahwa uang yang ditemukan di dalam laci meja itu bukan haknya, maka saat itu adalah jujur. Sedangkan amanat, adalah ketika si pembeli itu kemudian melaksanakan apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Mengembalikan apa yang bukan miliknya atau haknya kepada yang lebih berhak.”

Dari itulah, kemudian Bang Anis mengungkap perbedaan mendasar tentang kejujuran dan amanat. Bahwa kejujuran adalah sikap pribadi yang mengedepankan prinsip untuk meletakkan hal-hal pada kedudukan yang semestinya. Jujur adalah sikap yang dilandasi kesadaran bahwa apa yang ada dihadapannya tidak selalu menjadi sesuatu yang patut untuk diakui sebagai milik. Jujur adalah sikap yang menghindari dari asumsi-asumsi pribadi yang manipulatif.

Dalam sebuah contoh lain, Bang Anis memberikan sebuah penjelasan. Kali ini, Bang Anis berkisah lagi, “Dulu, pernah ada seorang kaya yang membeli sepetak tanah. Ini kisah nyata. Setelah disepakati harga maka tanah itu pun dilimpahkan dan diserahkan oleh pemilik pertama kepada si pembeli. Tetapi, belakangan, ketika si pembeli tanah ini hendak membangun tanah yang dibelinya itu, tiba-tiba, ketika salah seorang tukang mencangkul tanah itu muncullah sebongkah emas. Kira-kira kalau kita jadi pembeli tanah itu, apa yang akan kita lakukan? Pasti dari sekian banyak orang yang hadir ini akan berpikir, karena tanah itu sudah dibeli, maka apa saja yang ada di dalam tanah itu adalah hak kita. Begitu kan? Nah, itulah sikap manipulatif. Dan itulah pangkal dari ketidakjujuran. Si pembeli ini, rupa-rupanya tidak berpikir demikian, melainkan ia sekonyong-konyong mengambil emas itu dan mengembalikan pada pemilik tanah pertamanya. Lantas, apa sikap yang ditunjukkan oleh si pemilik tanah pertama itu? Si pemilik tanah pun menolak emas itu. Dia mengatakan bahwa emas itu adalah sah menjadi milik si pembeli tanah. Dan dari itu terjadilah perdebatan alot antara pemilik dan pembeli tanah itu menyoal emas itu. Lalu, untuk menengahi permasalahan itu, keduanya bersepakat mengundang seorang ulama, kiyai, untuk diajak rembugan. Mendengar permasalahan itu, ulama itu kemudian bertanya pada pembeli, apakah kau punya anak laki-laki? Si pembeli menjawab iya. Kemudian kepada si pemilik tanah, apakah kau punya anak perempuan? Si pemilik tanah menjawab iya. Kalau begitu, kawinkan mereka. Emas itu akan menjadi hak bagi pewaris kalian.”

Betapa penjelasan tadi membuka mata hati. Bahwa setiap permasalahan yang diselesaikan dengan cara yang jujur akan membawa dampak yang positif bagi semua pihak. Kesadaran-kesadaran inilah yang tampaknya menjadi perlu untuk terus dikumandangkan menjadi sebuah semangat untuk membangun. Demikianlah yang kemudian diungkap Agus Toto Widyatmoko atau dikenal mas Totok, seorang yang terbiasa berkantor di ruang redaksi harian Wawasan. Menyambung rerasan yang diungkapkan Bang Anis, mas Totok kemudian memberikan sebuah ulasan mengenai peristiwa-peristiwa tragis dalam tata hukum negeri ini, yang secara kasatmata kerap dimunculkan oleh media massa.

Tidak cukup hanya itu, mas Totok kemudian mencoba mengungkap berbagai permasalahan lain yang tidak tersorot oleh kamera media. Permasalahan-permasalahan yang juga sudah sangat dipahami oleh masyarakat luas, utamanya mengenai dana-dana bantuan sosial yang dianggarkan oleh pemerintah. “Dana-dana bantuan sosial, terutama untuk kegiatan-kegiatan yang dikelola oleh masyarakat kerap mendapatkan perlakuan yang kurang sepatutnya. Itu bisa dilihat melalui berbagai macam potongan yang diterapkan dengan dalih-dalih yang juga beraneka macam,” ungkapnya.

Bisa dibayangkan, jika kemudian banyak kegiatan-kegiatan sosial yang dikelola masyarakat terpangkas dana bantuannya, kalau dikumpulkan berapa banyak yang dihasilkan? Inilah yang menurut mas Totok, sebagai korupsi yang tak kentara. Dan semakin tak kentaranya tindak kejahatan korupsi ini dilakukan akan semakin membuat potensi korupsi semakin membesar. Otomatis kerugian pula bagi negara.

Tampaknya semakin lengkap sudah derita negeri korup ini. Rerasan yang diungkapkan Bang Anis dan mas Totok, serasa kembali memukul-mukul genderang kemarahan yang tak tersuarakan. Apalagi, di tengah-tengah kondisi politik negara yang kian hari, kian tak menemukan wajah eloknya. Sebagaimana diungkapkan mas Leak Sosiawan dalam diskusi itu. Tak pelak, ketika microphone dipegangnya, dia pun mengungkapkan fakta yang menarik, bahwa sistem pemerintahan atau sistem negara modern yang dibawa oleh Barat memiliki potensi besar mendorong pada perilaku korup para elite.

baliho PMK Pati“Di zaman Kalingga atau dalam istilah China disebut Holing, nyaris tak ada pejabat korup. Semua benda yang tergeletak di jalanan tak akan ada yang menyentuhnya, biarpun itu berharga. Mengapa begitu? Karena pada waktu itu Ratu Sima, raja perempuan kerajaan Kalingga, sangat takut jika ada warganya yang tidak jujur. Oleh sebab itu, ia menerapkan hukum yang sangat ketat. Tetapi, di dalam menerapkan hukum itu, tidak an sich hanya berlandaskan pada hukum itu semata, melainkan ada pula unsur kesalehan-kesalehan lokal yang digunakannya. Di sinilah ruang budaya kemudian dimanfaatkan sebagai upaya membangun masyarakat. Dan dari hal ini pula kita saat ini bisa membaca kondisi masa kini, bahwa sistem politik yang dijalankan oleh pemerintah masa kini jauh dari permasalahan-permasalahan budaya. Pemerintah sepertinya ogah berbicara soal budaya. Mereka sepertinya menganggap bahwa budaya bukanlah bagian penting dari sebuah pembangunan. Pemerintah hanya memberi ruang politik dan ekonomi sebagai satu-satunya jalur yang diyakini dapat memperbaiki nasib. Sistem hukum pun lebih menganut pada ajaran-ajaran politik yang bersifat modern yang selanjutnya meninggalkan dan menanggalkan budaya sebagai ruhnya. Oleh karena itu, gerakan Puisi Menolak Korupsi ini merupakan sebuah gerakan yang berada di garis kultur, kebudayaan. Harapannya, tentu agar budaya menjadi sebuah pilar yang juga diutamakan dalam membangun sebuah konsep sistem tata negara,” kata Leak.

Helat budaya yang diwarnai dengan diskusi itupun kemudian dilanjutkan dengan pembacaan puisi dari puluhan penyair se-Indonesia yang tergabung dalam antologi Puisi Menolak Korupsi. Dan aku rupanya mendapatkan giliran pertama. Kubacakan saja dua buah puisi; Libidokrasi dan Ekononasion. Disusul kemudian beberapa penyair lainnya. Sungguh, sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku, bisa ikut tergabung dalam gerakan ini. Aku seperti terpacu dalam denyut gerak yang tak ada habisnya ini. 

Semoga catatan kecil dari sekelumit perjalanan ini bisa memberi arti, amin…..

Salam,