BALADA GARENG

gareng 1

(Catatan Budaya)


Gareng, anak sulung Ki Lurah Semar, pada suatu senja sibuk dengan dirinya sendiri. Dia merenung dan memikirkan segala apa yang membuatnya kecewa. Dia menyesal karena merasa telah salah memilih orang untuk diikuti, salah memilih orang untuk di-momong. Ya, karena orang yang selama ini ia agungkan sebagai orang mulia itu seperti telah menelikung kepercayaannya, merajang rasa hormatnya dan menghancurkannya tanpa sisa. Bagaimana tidak, perselingkuhan antara Arjuna dengan Banowati terang-terang telah membuat luntur kepercayaan Gareng. Kepercayaannya terasa ditampar oleh kelakuan bendara-nya itu. Tetapi, lagi-lagi dia tidak bisa melawan karena sikap Ki Lurah Semar tidak pernah berubah. Semar tetap saja setia meladeni, momong para putra Pandudewanata itu. Itulah yang membuat Gareng semakin kecewa dan jengkel pada diri sendiri karena dia tidak bisa melawan sifat pakemRama-nya sendiri, Semar.

Bahkan, saking jengkelnya, di dalam benaknya, Gareng sempat berpikiran picik tentang Rama-nya sendiri. Dia pikir Semar adalah orang yang tidak punya sikap jelas terhadap bendara-nya itu. Semar dianggapnya sebagai orang yang tidak punya pendirian kuat. Sebab, yang ia tahu soal Rama-nya, Semar, adalah orang yang selalu memerhatikan hal-hal besar, seperti moral. Tetapi, mengapa ketika para putra Pandudewanata itu punya kelakuan buruk, Semar justru seolah diam tak berdaya? Apakah Semar memang sengaja mendiamkannya? Ataukah ini juga bagian dari sifat Semar yang sesungguhnya? Gareng merasa jika Semar telah benar-benar menutup mata. 
“Gareng…Gareng, anakku, kenapa kau mengusik Rama lagi Reng?” tanpa dinyana-nyana Semar tiba-tiba saja muncul di hadapan Gareng. Seolah tahu apa yang sedang bergemuruh dalam hati dan pikiran Gareng, Semar muncul dengan sebuah pertanyaan yang sangat mengagetkan.
Mendengar suara itupun Gareng langsung beranjak dari duduknya dan sesegera menjura pada sang Rama Ki Lurah Semar. “Mama … maaf Rama, Gareng tidak bermaksud mm…me..emem …memememe….mengusik Rama,” 
We e e e e tobil tobil jagad abuh ketiban kambil, numpak gethek pinggir lepen, ingat loh anakku Gareng, Ramatidak pernah mengajarimu berbohong. Apa kamu sudah lupa? He?” pertanyaan Semar kali ini sedikit memojokkan Gareng.
Gareng sadar Semar memang memiliki daya linuwih soal membaca pikiran. Jadi sebenarnya Gareng juga sadar jika kepura-puraannya adalah sia-sia belaka. Dan pertanyaan Semar kali ini pun tidak hanya memojokkan melainkan pula membuat dia harus mengaku jujur. “A…anu Ma, sebenarnya saya sedang berpikiran bub buruk soal Rama,” jawab Gareng.
Ehehehehehe, Rama tahu, Rama ngerti …. Ini pasti soal kabar tentang bendara-mu itu, Arjuna. Ya to? Raden Arjuna yang gosipnya sudah menjadi konsumsi publik rakyat Hastina. Duh Jagad Bathara GungThole… thole Gareng, jangan sangsikan sikap Rama, ngger…. Karena Rama juga merasakan hal yang sama. Rama merasa sangat terusik dengan kelakuan bendara-mu itu. Apalagi kabar tentang perselingkuhan antara bendaramu Arjuna dengan Banowati permaisuri Prabu Suyadhana itu sudah benar-benar menyebar dan vulgar, ngger. Tapi, Rama tidak bisa berbuat banyak, sebab Rama tidak punya kuasa untuk membuat mereka berubah,” seloroh Semar.
“Tap…tap…tapi Ma, sebenarnya Rama ini kan punya kans untuk didengar Ma. Rama bisa mencegahnya!” gugat Gareng.
Semar terlihat senyum-senyum.
“Bukankah Rama itu selalu memberi wejangan bagi bendara-bendara kita para putra Pandu itu? Tetapi kenapa Ma, sekarang Rama malah diam? Kenapa Rama tidak angkat bicara? Padahal, ka ka kalau urusan ini didiamkan, maka bu buk bukan tidak mung mmum mungkin akan menjadi presenden buruk bagi Pandawa dalam kancah politik Hastina Ma,” sergah Gareng.
Welah tidak semudah itu anakku ngger Gareng…. Sebab, kita sebagai rakyat kecil tidak punya hak untuk melarang mereka. Apalagi sampai menghukum mereka, Ngger,” kata Semar.
“Loh loh loh Rama! Lah kok Rama pesimis gitu to Ma?! Rama kok….” belum selesai Gareng nyerocos, Semar langsung menyahut.
Elah, bukan pesimis ngger, tetapi menyadari kedudukan ngger. Menyadari jika selama ini kita ini hanya menjadi bagian dari rakyat kere Ngger.”
“Apa hubungannya dengan kereMa?! Jelas Rama tahu, bahwa Rama memiliki peran besar dalam menuntun danmomong para putra Pandu itu, Ma?! Dan kalau memang kita ini kere, lalu apa ya kalau jadi rakyat kere kita nggakboleh protes Ma?” kata Gareng.
“Hehehehehe, boleh Ngger, boleh…. Tapi harus diingat, walau bagaimanapun Den Arjuna itu tetap bendara-mu,bendara kita Ngger. Jadi apapun kejelekan yang ada padanya kita harus memakluminya NggerWong kita ini kan hanya pendherekrak ya ngono to? Jadi tugas kita sebagai punakawan hanya mengingatkan Ngger, mengingatkan. Tidak lebih,” jawab Semar.
“Wah kalau begitu nggak adil to Ma, wong selama ini rakyat kere seperti kita kalau ketahuan selingkuh saja pastidigebuki kok sama warga se-RT. Masa giliran mereka yang selingkuh dan terpublikasikan oleh media eh malah mereka tetep bisa nampang tanpa dosa, mentang-mentang punya kuasa bisa seenaknya permainkan hukum. Ini sudah edan to MaEdan!” protes Gareng.
“Loh soal hukum itu kan sudah jelas ada job-nya sendiri to le? Bukan kita. Lah perkara nanti mereka dihukum atau tidak atas kelakuan mereka itu persoalan ranah pengadilan to le. Kalau memang kemudian mereka tidak dihukum karena perbuatan mereka, itu artinya hukum sudah tercemar. Maka kita wajib hukumnya untuk membersihkan dan mensucikannya le….”
“Wah enak ya jadi penguasa itu Ma, ketika ada yang kotor kita yang harus membersihkan. Giliran sudah bersih eh masih juga mereka mau mengotorinya lagi. Makanya negeri Ngastina nggak pernah bersih Ma…” gerutu Gareng. 
“Gareng…Gareng, itulah politik kekuasaan Ngger. Selalu tidak akan menemukan wajahnya yang bersih jika selalu diisi oleh pikiran-pikiran kotor. Makanya, ketimbang kamu terus-terusan ikut berpikiran kotor semacam itu mending ikutRama untuk menemui bendara-mu, Arjuna. Rama mau mengingatkan dia sekaligus menegurnya. Dan akan Ramasampaikan kalau perselingkuhannya dengan permaisuri Prabu Duryadhana itu telah membuat rakyat Ngastina semakin tidak percaya pada Pandawa. Sebab, dengan beredarnya isu perselingkuhan itu rakyat menganggap jika Pandawa sudah lupa terhadap titahnya sebagai pengayom rakyat. Dan kalau mereka sudah lupa maka wajib kita ingatkan. Kalau masih lupa juga, kita doakan saja agar negeri Ngastina ini masih awet umurnya, Ngger. Sebab, kehancuran sebuah negeri, kehancuran sebuah bangsa terletak pada sikap dan sifat para pemimpinnya. Jika pemimpin sudah nggak ada yang beres maka tidaklah akan lebih baik pula rakyatnya dari seorang penguasanya, Ngger,” kata Semar.
Mendengar perkataan itu, Gareng tersadar bahwa apa yang diucapkan Semar adalah kesungguhan sikapnya.