Bahasa Indonesia, Bahasa Pergaulan Dunia

(renungan kuliah Bahasa Indonesia)


Pada sebuah perkuliahan, saya pernah menanyakan pada mahasiswa saya mengenai kemungkinan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional yang bersanding sejajar dengan beberapa bahasa internasional lainnya, seperti bahasa Inggris, Arab, Perancis, dan sebagainya. Kala itu, saya mendapatkan jawaban yang hampir rata-rata jawaban itu menunjukkan sikap pesimis. Hampir 70% mahasiswa yang mengikuti perkuliahan menjawab dengan ragu-ragu dan menyatakan bahwa sulit bagi bahasa Indonesia untuk bisa masuk ke dalam bahasa-bahasa internasional, bahasa yang digunakan pergaulan dunia. Sementara 20% mahasiswa tidak tahu harus menjawab apa, dan 10% mahasiswa yang hadir menjawab dengan optimis bahwa bahasa Indonesia sangat mungkin menjadi salah satu bahasa internasional. Alasan mereka, karena Indonesia bagi negara-negara di dunia merupakan negara penting, terutama dalam kaitannya sebagai negara potensial secara ekonomi dan politik. Secara geografis dan demografis, Indonesia merupakan negara yang strategis bagi pengembangan sektor ekonomi dan politik. 

Memang, bukan tidak mungkin bahwa bahasa Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan kedudukannya tidak sebatas sebagai bahasa nasional, melainkan pula sebagai bahasa internasional. Terlebih jika menilik dari anggapan di atas. Sebab, usaha untuk mencapai cita-cita menginternasionalkan bahasa Indonesia sudah kerap dilakukan oleh pemerintah, meskipun belum sepenuhnya dapat mencapai hasil seperti yang dicita-citakan. Tetapi, usaha itu patut diapresiasi karena dibutuhkan keseriusan dan proses yang tidak singkat. Apalagi, hal itu dilakukan dalam kekarut-marutan situasi politik yang terkadang atau bahkan sering melahirkan sikap pesimistis pada bangsa ini. Tidak hanya itu, karut-marut yang diakibatkan oleh situasi politik ini juga membuat pandangan miring sejumlah bangsa lain terhadap Indonesia. Semestinya, hal situasi tersebut tidak menjadi penghalang. Tetapi, situasi itulah yang acapkali membuat perhatian publik terkonsentrasi, sehingga wacana tentang kebangsaan kita pun tidak menjadi lagi penting. Dalam konteks ini, kebangsaan Indonesia perlu terus ditumbuhkan dalam ranah kesadaran sebagai sebuah bangsa di tengah-tengah pergaulan antarbangsa dalam bentangan budaya globalisme.

Sudah terbukti sejak zaman dulu, bahwa bangsa Indonesia (atau dulu dikenal dengan Nusantara) telah mampu menjadi bangsa penjelajah dunia. Bahkan, dalam penelitian terkini yang dilakukan oleh ahli biologi molekuler Universitas Massey Selandia Baru, Murray Cox,  menyatakan bahwa penjelajahan dunia yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa Nusantara sampai pula menembus lintas benua. Salah satunya benua Afrika, tepatnya di pulau Madagaskar. Mulanya, penelitian itu bertujuan untuk menganalisis DNA mitokondria yang diturunkan lewat ibu dari 2.745 orang Indonesia yang berasal dari 12 kepulauan dengan 266 orang dari tiga etnis Madagaskar (Malagasi): Mikea, Vezo, dan Andriana Merina. Hasil riset tersebut menyimpulkan, sekitar 30 orang perempuan Indonesia menjadi pendiri dari koloni Madagaskar 1.200 tahun silam. Mereka disertai beberapa lelaki yang jumlahnya lebih sedikit (Jurnal Proceedings of the Royal Society B, Maret 2012).

Sementara dari sisi bahasa, kebanyakan leksikon penduduk Madagaskar berasal dari bahasa Ma’anyan yang digunakan di daerah lembah Sungai Barito di tenggara Kalimantan, dengan beberapa tambahan dari bahasa Jawa, Melayu, atau Sanskerta. Menurut Robert Dick-Read dalam Penjelajah Bahari, kemiripan ini kali pertama dikemukakan misionaris-cum-linguis Norwegia Otto Dahl pada 1929 setelah meneliti kamus Ma’anyan karya C. Den Homer (1889) dan karya Sidney H. Ray (1913).

Berdasarkan temuan itu, maka sebenarnya sangat mungkin terjadi penyebaran budaya yang di dalamnya juga mengikutsertakan bahasa sebagai salah satu bentuk budaya. Temuan lain juga menyebutkan bahwa bangsa Nusantara adalah salah satu bangsa nenek moyangnya peradaban dunia, di samping bangsa Yunani. Temuan ini didasarkan atas hipotesis dua profesor dari dua negara yang berbeda, yakni Prof. Ariyoso Santos (Brasil) dan Profesor Oppenheimer (Inggris). Keduanya bahkan meyakini bahwa bangsa Nusantara (yang sebagian besar adalah berada di wilayah Indonesia pada masa kini) adalah keturunan bangsa Atlantis yang hilang itu.

 

Temuan-temuan itu, menurut saya pribadi, tidaklah aneh. Bukan hal yang mustahil. Sebab, di dalam perjalanan sejarah Nusantara, nenek moyang kita semula adalah para petualang, penjelajah lautan. Apalagi dengan kondisi kawasan Nusantara yang lebih didominasi oleh kawasan laut yang membentang sedemikian luas. Kita bisa menengok relief pada candi Borobudur misalnya. Di sana terukir sebuah relief yang menggambarkan tentang kehidupan maritim bangsa Nusantara. Terdapat pula relief yang berupa kapal pinisi yang hanya bangsa Nusantaralah pemiliknya. Tidak ada bangsa lain yang bisa menirunya.

Tentu, apa yang termaktub pada relief itu bukanlah sebuah fiksi melainkan sebuah gambaran atau cerminan terhadap kenyataan yang sesungguhnya terjadi pada masanya. Tetapi, apabila ditafsirkan kembali maka dapat dipahami bahwa bangsa ini memang sudah dikenal sebagai bangsa penjelajah dunia pada era itu. yang artinya pula bahwa bangsa ini adalah bangsa yang sudah memiliki hubungan dengan bangsa-bangsa lain.

Lebih dari itu, Anton Moeljana, seorang sejarahwan yang sekaligus pakar bahasa dan sastra pernah menyatakan bahwa bahasa Indonesia yang merupakan keturunan dari bahasa Melayu (kep. Riau, Minang, dan Kalimantan) pernah menjadi bahasa pergaulan dunia. Bahasa Melayu yang merupakan induk bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa tertua dalam bahasa-bahasa dunia lainnya. Bahkan, di dalam genggaman kerajaan Sriwijaya dan juga Majapahit, bahasa ini menjadi bahasa internasional yang digunakan untuk pengajaran, hubungan diplomatik, dan hubungan perdagangan lintas bangsa. Anton Moeljana menunjukkan bukti temuan-temuan artefak berupa prasasti yang bertuliskan huruf palawa dengan menggunakan bahasa Melayu Kuno dan bahasa Jawa Kuno di beberapa negara di luar kawasan Nusantara, seperti di India, Madagaskar, kepulauan Hawaii, dan beberapa kawasan lainnya. Selain itu, beberapa surat yang dikirim kepada sejumlah penguasa Timur Tengah yang menggunakan tulisan Arab dengan bahasa Melayu juga menjadi bukti nyata bahwa bangsa Nusantara pada masa kejayaannya itu pernah menduduki posisi penting dalam kancah pergaulan dunia. Begitu pula dengan bahasanya.

Gus Dur juga pernah menuliskan bahwa bangsa Nusantara di masa lalunya merupakan bangsa yang besar. Ia menjadi bangsa tujuan bagi bangsa-bangsa lain. Ia bahkan menjadi tempat pertemuan arus kebudayaan dari bangsa-bangsa lain yang sedemikian beragamnya. Bahkan ia menjadi tempat studi bagi bangsa-bangsa lain mengenai ilmu pengetahuan dan filsafat. Fakta ini memang berkebalikan dengan masa kini. Tetapi, keyakinan itu perlu ditanamkan kembali untuk menemukan kembali jati diri bangsa Indonesia yang kini terserak di tepi perjala-nan sejarah masa kini. Tentunya, keyakinan semacam ini juga perlu menjadi ba-han renungan bersama dalam kaitannya untuk membangun kemandirian bangsa Indonesia di masa kini dan masa mendatang.

Seperti yang pernah diungkapkan Cak Nun (sapaan akrab budayawan asal Yogyakarta, Emha Ainunnajib) saat melawat kampus Sriwijaya, Universitas Pekalongan dua tahun silam. Dalam pernyataannya Cak Nun mengatakan bahwa sumber penyakit utama yang menjadi virus bagi bangsa Indonesia ini tidak lain dan tidak bukan adalah rasa ketidakpercayaan pada diri sendiri sebagai bangsa. Bangsa ini tidak pernah mau belajar dari masa lalunya. Bahkan dalam hal kebahasaan, Indonesia menurutnya jauh lebih kaya ketimbang bangsa-bangsa lain. Kekayaan bahasa ini terutama sebagai akibat dari keragaman bangsa-bangsa yang mendiami tanah Nusantara. Tetapi, di dalam keberagaman bangsa itu, bangsa ini mampu membangun sebuah kesatuan dan menghimpun kekuatan budaya. Inilah yang menurutnya sebagai kekayaan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Kemampuan untuk saling merangkul satu sama lain ini merupakan konsep dasar dari suatu kesadaran berbangsa yang tidak pernah ada sebelumnya di negara manapun. Dalam selorohnya yang ringan itu, Cak Nun juga mengungkapkan bahwa kekayaan semacam ini tidak dimiliki bangsa-bangsa besar sekalipun. Di daratan Timur Tengah misalnya, meski sesama berasal dari nenek moyang yang sama, yakni bangsa Semit, bangsa-bangsa di tanah Arab itu justru terus berkonflik. Itulah sebabnya, mengapa Tuhan mengirimkan nabi-nabi di tanah Arab. Amerika, yang dikenal sebagai negara demokrasi sekalipun ternyata tidak pernah bisa lepas dari permasalahan rasial. Begitu pula dengan negara-negara Eropa yang tak kunjung padam ketegangan antarmereka yang mereka sembunyikan di balik layar panggung drama politik dunia.

Tidak hanya itu, seorang Gubernur Jenderal berkebangsaan Inggris yang dulu menguasai tanah Jawa, Thomas Stamford Raffles, dalam bukunya yang teramat tebal dan diberi judul The History of Java (1817) itu ia menuliskan tentang kekagumannya terhadap Nusantara. Baginya, Nusantara (baca: Jawa) merupakan tanah harapan yang menyimpan segala potensi besar bagi dunia. Tanah Jawa adalah tanah yang subur dan kaya akan kebudayaannya. Bahkan sehari sebelum ia meninggalkan Jawa untuk dipindahtugaskan ke Singapura, Raffles mengakui bahwa dirinya masih merasa berkeberatan meninggalkan tanah Jawa, sebab masih ada banyak hal yang ingin ia tulis mengenai Jawa. Masih ada banyak hal yang ingin ia ketahui dari Jawa.

Kini, kita memasuki era millenium ketiga yang sudah bergulir sejak tahun 2000. Dalam usia yang relatif muda sebagai sebuah negara yang berdaulat, tentu masih banyak pekerjaan yang harus digarap. Kalau beberapa waktu lalu, banyak pendaki gunung yang menjelajah gunung-gunung tertinggi di dunia dan menancapkan bendera merah putih di atas puncaknya; bangsa ini juga mampu menduniakan batik, keris, gamelan dan berbagai ragam kekayaan budaya, kini ada pekerjaan lain yang tidak sekadar bersifat simbolistik, yakni menduniakan bahasa Indonesia. Mungkin oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, hal ini hanya sebuah mimpi-mimpi kosong. Tetapi, bukankah segala sesuatu bisa saja berangkat dan diawali dari mimpi? Sebab, jika saat ini bangsa Barat begitu kuat mencengkeramkan cakarnya melalui segala bentuk hasil kebudayaannya ke hampir seluruh bangsa di dunia itu tak lain karena sebuah mimpi besarnya dengan slogan ‘Vini, Vidi, Vici’ (Datang, Taklukkan, dan Menang)! Pertanyaannya kini, kapan kita akan melepaskan diri dari sikap takluk dan menegakkan badan lalu dengan lantang bersuara “Kitalah PEMENANG SEJATI!”?

  

Ribut Achwandi

Pekalongan, 01/03/2013